Sabtu, November 19, 2011

Nyali

di sini aku dengar
derau angin yang mendesing keras
dan aliran sungai yang runtuhkan nyalimu

di sini aku lihat
awan mendung yang bergerak tinggalkan kita
juga tatapmu yang selalu diam membeku

di sini aku mengerti
hakikat waktu yang diterobos mimpi
beserta nasib yang bukan sekadar buih ombak

di sini aku ingin mendengar
senandung senja yang kau bisikkan pada langit
hingga buat segala semangat kembali bergetar

tak ada pertentangan
tak ada makian
hanya perbedaan yang hantarkan kita menuju impian

Senin, November 14, 2011

Pagi, Alam, dan Ruh #2

Andaikan. Sebuah kata yang sering kita dengar bahkan ucapkan. Manusia memang selalu mempunyai keinginan.  Tapi tentunya tak semua manusia. Bagi beberapa orang tentu saja percaya akan adanya takdir. Sesuatu kondisi dimana kita tak bisa berperan sendirian saja untuk menentukan sesuatu tersebut. Seperti biasanya, ketika sesuatu tersebut terjadi atau diputuskan bahkan memutuskan, kita sering berandai-andai, atau paling tidak berseloroh “seharusnya......”.
Masalah, ya sekali  lagi masalah. Hidup ini selalu terisi dengan masalah. Hanya mereka yang tak hidup yang tak mempunyai masalah. Ketika takdir tadi telah terukir, maka masalah muncul. Entah dalam fase awal, proses, bahkan keputusan final dari takdir tersebut. Masalah adalah hal yang terkadang tak kita ketahui, seringkali pula merupakan sesuatu yang tak kita inginkan. Sebuah pertanyaan besar pun menyeruak. Jika masalah itu adalah segala hal yang tak kita inginkan, lalu mengapa kita hidup? Apakah dahulu kita benar-benar menginginkan hidup?
Hidup sendiri bukan hanya tentang jiwa dan raga. Tapi lebih dari itu, kita mengenal dengan adanya roh juga sukma dalam jawa. Kemana mereka? Hanya sedikit manusia saja yang bisa merasakan juga berinteraksi dengan sukmanya sendiri. Kebanyakan dari kita hanya memikirkan bagaimana raga. Jiwa hanya identik dengan pemikiran-pemikiran serta keahlian yang jelas tak kasat mata. Mungkin memang hal tersebut dapat diimplementasikan, namun melihatnya secara nyata dan langsung, tentu tak mungkin. Apalagi bila terkungkung dalam metodologi ilmiah..
Berbicara soal roh juga sukma, saya teringat pembicaraan dua orang yang entah siapa saya curi dengar. Siang itu di sebuah tempat makan yang begitu ramai, saya terpaksa meminta tempat duduk si samping dua orang yang sedang berbicara seru. Entah apa yang dibicarakan pada awalnya, saya tak peduli. Ketika pesanan datang, saya mulai bosan. Jujur saya  tak membawa buku yang biasanya menjadi teman ketika sendirian seperti ini. Mereka berbincang tanpa memperdulikan saya.
“kamu kenapa pake minum segala coba? Kadang-kadang atau sering?” tanya pria yang kurus dan berambut pendek yang entah siapa namanya. Temannya yang berambut panjang keriting mirip Slash menjawab, “lha piye, pusing, banyak masalah. Jadi ya enaknya minum, buat sekedar melupakan sejenak”.
“hmmmm sekarang coba pikir, setelah minum masalah kamu hilang gak?” sahut si rambut pendek lagi. “ya kagak,” jawab si rambut panjang. “nah, kenapa minum? Yang kamu kasih solusi tu cuma jiwa ma raga kamu, kalau roh kamu gimana? Masih lapar kan? Masih bingung kan?” “ya iyalah, eh tapi maksudnya?” “ya itu tadi, kamu ngrokok, minum, ya seneng, tapi cuma jiwa ma raga kamu. Makanya senengnya cuma sebentar. Sekarang kamu coba inget, kalau sholat, berapa lama kamu senengnya? Atau plong-nya minimal,  lama to. Itu karena roh kamu yang kamu kasih makan.” Jleb...serasa tertusuk hati saya.
Jujur selama ini saya juga termasuk orang yang masih belum bisa mengerti bahasa hati bahkan bagaimana keinginan si roh atau sukma dalam tubuh ini. Setidaknya percakapan tadi makin memahamkan saya bahwa terkadang logika ada batasnya. Terlalu banyak pula kita bertumpu pada logika, terkadang pula kita terlalu bertumpu pada takdir, dan sesekali kita bertumpu pada keberuntungan. Seakan-akan kita lupa tentang prinsip keseimbangan. Mereka yang merasa paling benar dan merasa suci (menganggap yang lain salah) kadang lupa bahwa keseimbangan itu ada. Sebuah pertanyaan liar kembali menyeruak. Jika kita tak mengenal roh kita sendiri, lalu bagaimana perhitungan nanti? Siapa yang mempertanggungjawabkan?
Saya seringkali merenung sendiri atau mengurung diri dalam kamar hanya untuk sekedar diam dan mencoba mengerti pertanyaan-pertanyaan yang sering liar muncul ini. Saya sendiri tak tahu bagaimana awal dan akhirnya. Namun setidaknya saya yakin bahwa Dia itu sempurna dan semua tentu saja bisa dipertanyakan pada-Nya.

Bersambung........

Kamis, November 03, 2011

pagi......


PAGI, ALAM, DAN RUH

Pagi ini seperti biasa, mata terbuka ketika mentari baru saja hampir naik. Setidaknya pagi masih berlangsung dimana kicauan burung masih ribut menyambutnya. Pagi selalu menjadi hal tersendiri. Tenaga masih terkumpul untuk satu hari penuh setelah kita berbaring sejenak dan melupakan segala yang terjadi sebelumnya dalam mimpi penuh misteri yang tak pernah kita bisa mengendalikannya.
Berbicara soal mimpi maka selalu akan timbul tanda tanya besar. Kita yang terbiasa dikendalikan oleh otak secara inderawi menjadi lemah dan tak mampu berbuat apa-apa soal mimpi. Bahkan ada rasa, secara penglihatan kita tertipu. Semua yang tergambar dalam mimpi seakan-akan benar-benar terjadi di hadapan kita secara nyata. Mata jelas tertipu. Ketika tidur mata kita tertutup, tetapi perasaan kita saat kita bermimpi mengirimkan stimulus bahwa hal itu sperti benar terjadi adanya. Mungkin inilah yang dipikirkan einstein ketika berujar bahwa imajinasi lebih penting daripada ilmu pasti.
Biologi menjelaskan secara nyata bagaimana syaraf penglihatan kita bekerja saat menerima rangsang cahaya dari benda-benda. Sebuah kenyataan besar mengalahkan hal tersebut. Seperti yang saya ungkapkan di atas, mata kita tertipu dengan kata lain syaraf-syaraf tersebut tak mampu lagi dijelaskan secara ilmu pasti.
Pertanyaan besar pun masih mengemuka pagi ini. Terbangun ketika mentari sudah mulai merangkak pelan menuju cakrawala dengan segala keteraturan alam semesta yang begitu sempurna. Masih saja saya tak mengerti. Mana mungkin rasio akal pikiran kecerdasan manusia mampu menjelaskan semua tersebut secara patokan manusia yang disebut ilmiah? Itu terbukti sampai kini. Tak ada manusia di belahan alam semesta manapun yang mampu menjelaskan hal tersebut.
Manusia memang mahluk yang congkak. Rasio sendiri yang mengatakan hal demikian. Manusia membabat alam sampai hampir habis lalu kebingungan sendiri ketika alam mulai menjadi tak seimbang. Parahnya, manusia tak pernah mau disalahkan seorang diri. Saya masih bertanya, mengapa manusia menyalahkan binatang sebagai sumber-sumber penyakit tertentu. Flu salah satunya. Saya sempat terpikir sebah pertanyaan. Apakah sejak dulu memang sudah ada flu pada binatang? Atau manusia yang mengganggu keseimbangan alam sehingga muncul virus flu? Atau malah manusia sendiri yang menciptakan virus flu?
Pertanyaan-pertanyaan itu belum mampu saya jawab, mungkin saja si google bisa sehingga saya juga bisa nantinya.
Bersambung....................

Jumat, September 30, 2011

buangan


Siang tadi terasa lebih lambat dari biasanya. Terik matahari yang menyengat, sedikit merayapnya kendaraan yang biasanya lancar, semakin membuat lambat rasanya dan memang makin lambat ternyata. Bau keringat bercampur dengan asap knalpot yang makin menyesakkan suasana. Ya, bis jogja solo yang saya tumpangi ini merayap memakan meter demi meter jalanan. Suara bising deru mesin yang jelas terdengar ditelinga pun menjadi nada-nada tersendiri. Lambat, merayap, panas, milik rakyat.
Pikiran mulai terbang, seandainya naik motor sendiri atau mobil sendiri mungkin lebih nikmat. Tak perlu merayap. Tak ada bau keringat apalagi ketiak orang tak dikenal. Lebih irit di kantong pribadi, selain itu juga lebih bisa mengestimasi keberangkatan dan juga kedatangan.
Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah ramah lingkungan, global warming, sampai dengan go green. Semua hal tersebut pada intinya adalah tentang usaha bagaimana membuat bumi sedikit lebih ramah atau dalam bahasa saya sebagai cara untuk memperlambat kehancuran bumi. Usaha tersebut memakai banyak cara, salah satunya adalah penggunaan transportasi masal, yang berarti meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi, dalam hal ini yang berupa kendaraan bermotor tentunya.
Banyak yang menentang penggunaan kendaraan pribadi yang semakin meningkat. Siapa yang disalahkan atas hancurnya ozon? Polusi udara jawabnya dan dilimpahkan pada asap-asap knalpot juga pabrik yang semakin tebal. Siapa dalangnya? Beragam pula jawabnya, tetapi sebagian besar mengatakan bahwa negara dengan banyak mobil lama yang emisinya besar menjadi biang keroknya. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab? Lebih berwarna lagi jawabnya. Ada yang menyalahkan negara maju yang tentu saja lebih banyak industrinya. Namun, ada pula yang menyalahkan negara berkembang dimana memang belum sebaik negara maju pengolahan limbahnya.
Semua itu seakan jadi kata-kata semu. Perdebatan yang saya yakin tak akan ada habisnya. Semua tentu saja akan saling membela diri mereka masing-masing. Namun sedikit dari siang tadi. Saya dengan sok aksi mencoba sok peduli lingkungan. Saya pergi ke solo tanpa memakai motor butut saya sendiri. jam 11.00 WIB tepat saya mulai langkah kaki menuju halte trans jogja terdekat. Belum sampai halte, kaos yang saya pakai sudah basah kuyup oleh keringat. Belum ada wewangian yang muncul untungnya. Sampai di halte bis yang kutunggu tak kunjung datang. Detik jam pun mulai bertalu-talu. 1 jam kemudian baru si ijo itu tiba. Di dalam bis agak lumayan, sayangnya sampai di gedong kuning si ijo ini berhenti lama. Si sopir dan kernet ganti shift ternyata, tapi sayangnya tak ada penjelasan pada kami para penumpang, mengapa ini berhenti lama? Si komo lewatkah? Atau mengapa? Sekitar 20 menit berhenti dengan hati penuh tanya maka akhirnya si sopr pengganti dengan gagah perkasa masuk ke dalam bis. Bis pun melaju kembali tanpa ada permintaan maaf.
Akhirnya sampai juga di janti, saya mencoba bersabar. Solo yang menjadi tujuan masih jauh di depan sana. lanjutnya harus menaiki bis jogja-solo yang jelas lebih mengkhawatirkan daripada bis ijo tadi. Bayangkan jogja solo ini saya tempuh dengan waktu 4 jam. Itu sudah dengan perhitungan naik si ijo tadi. Rasanya seperti membuang waktu yang jelas-jelas tak mungkin bisa kembali lagi.
Saya kemudian berpikir, di era mobilisaasi yang tinggi seperti ini, dimana waktu benar-benar berharga dan dengan cepatnya berubah, kita diminta kembali untuk melambat. Jauh melambat ke masa-masa sebelumnya. Betapa tidak menyenangkannya kita? Sebuah kewajaran saya rasa ketika banyak manusia di negara kita yang tetap memilih kendaraan pribadi tanpa perduli macet apalagi polusi yang dikeluarkan. Bagaimana tidak? Jika transportasi umum tetap seperti ini terus maka siapa yang mau? Tapi bukan berarti saya pesimis. Saya pikir jika nanti, sekali lagi jika nanti transportasi ini benar-benar diperhatikan maka akan berbeda segalanya. Ramah lingkungan pun  bukan hanya jadi slogan dan semua tidak hanya saling menyalahkan. Saya pikir mereka yang membuat kampanye ramah lingkungan tadi juga mungkin akan tetap memilih kendaraan pribadi mereka masing-masing bila keadaan transportasi umum tetap seperti ini. Sikap kita sendiri bagaimana? Ya kita tahu jawabnya. Setidaknya jalan kaki ataupun membuang waktu berpanasan juga berarti mengurangi polusi udara.

Kamis, Agustus 11, 2011

Lalu

Waktu selalu jadi musuh. Ia tak mengenal toleransi. Tanpa pandang bulu ia terkam detik demi detik. Tak peduli kau, aku, dia, bahkan mereka mulai mengejang, mengaduh, merintih tak kuasa kendalikanmu. Entah mengapa ia sendiri tak berpatokan. Tiap penanda detik teknologi modern hanyalah sebagai penunjuk adanya dirimu. Tak lebih seperti obat penenang di otak-otak tiap kepala yang tak pernah berhenti mengingat. 

Kemarin lusa masih kurasa kau berjaan begitu cepat bersamaku. Seakan kau  menggenggam erat kedua tanganku dan melompat naik di bahuku. Jarak kita menjadi begitu dekat dan saat itu pula kau menjadi musuhku karena kau berjalan begitu cepat.

Adakah yang mampu mengendalikanmu? Agar kau mampu bersahabat denganku juga manusia-manusia yang sekadar ingin hidupnya lebih berputar tak tentu. Agar kau tak melesat terlalu jauh menipu tiap mata yang melihat dan merasa adanya dirimu.

Kau tak mengerti rupanya. Perjumpaanku dengannya kemarin adalah nafas bekal semangatku untuk mengahadapimu. Tiap tatapan matanya ialah api harapanku untuk menghantuimu. Tapi kau tetap acuh, lalu berjalan semakin cepat dan pergi tinggalkan kami berdua dalam keheningan benda berasap yang antarkan kami berpisah. Kau pun tertawa lalu kembali melambat. Bermain dengan arus jalan yang tak kukenal. Kau seakan senang melihatku menanti saat dimana kau berbaik hati dan mau berdamai denganku untuk berbicara tentang hal yang masih tak kumengerti. Kau seakan bahagia melihatku kebingungan mencari celah sampai kau datang padaku untuk mengantarku kembali padanya.

Waktu adalah musuh. Ia tak mengenal toleransi juga belas kasih. Sampai ia berdamai denganku dan menuntunku pada garis baru antara aku dengannya.


Selasa, Juli 19, 2011

Asumsi dari Asumsi

 
Akeh wong ngedol ngelmu
Akeh wong ngaku-aku
Njabane putih njerone dhadhu
Ngakune suci, nanging sucine palsu
Petikan di atas adalah bagian dari ramalan Jayabaya. Sebuah warisan sejarah dari masa lampau yang entah mengapa hampir semua terbukti saat ini.
Ramalan sendiri tak lain adalah perkiraan atau bisa juga disebut asumsi. Manusia selalu berasumsi akan sesuatu. Mula-mula melihat lalu berasumsi dengan otak mereka masing-masing. Bahkan terkadang manusia melibatkan emosi dalam asumsinya.
Ilmu sendiri berawal dari asumsi-asumsi. Archimedes berasumsi tentang berat jenis air lalu ia membuktiknnya. Galileo berasumsi terlebih dahulu tentang teori haleosentris dan ia pun membuktikannya. Einstein pun berasumsi terlebih dahulu bahwa lintasan planet-planet berbentuk elips bukan bulat sempurna.
Tiap orang mempunyai asumsi yang benar atau bisa dibilang meyakini asumsinya masing-masing. Asumsi yang terkadang membuat kita lupa bahwa asumsi hanya sekadar perkiraan dan bisa jadi salah. Seorang yang terpelajar biasa berasumsi bahwa mereka harus membenahi hidup orang yang kurang terpelajar. Hal ini dikarenakan si kurang terpelajar hidupnya harus banting tulang namun tak kunjung juga mampu hidup dengan layak misalnya. Ini seperti sebuah perasaan tanggung jawab terhadap yang lain. Namun, seorang manusia terkadang lupa bahwa jalan cerita keinginan hidup tiap orang itu berbeda. Pernahkan kita menanyakan apakah mereka yang kita katakan kurang layak hidupnya itu membutuhkan bantuan kita?
Lain halnya dengan bangku kuliah. Sebuah asumsi menjadi suatu hal yang penting dalam menganalisa suatu kasus. Tanpa asumsi maka tentu saja tak akan ada hipotesa dengan begitu gugurlah keingintahuan. Seperti contoh yang nyata, pemerintah berasumsi bahwa Mbah Maridjan ketika Merapi sedang erupsi harus mengungsi demi keselamatan jiwa. Namun apakah beliau setuju dengan asumsi tersebut? Kadang kita lupa bahwa kebanyakan dari masyarakat jawa punya suatu pegangan yaitu nrimo ing pandum, urip mati iku kuasane Gusti. Ini merupakan sikap pasrah terhadap sang pencipta. Memang pada akhirnya Mbah Maridjan tewas terkena lahar panas. Tetapi setidaknya beliau tetap percaya pada asumsinya sendiri dan tidak takut menghadapi kematian seperti yang lain. Karena mati adalah sesuatu yang tetap sejak kita belum dilahirkan.
Mungkin ini lebih seperti pendekatan a-priori, pendekatan yang mendahului pengalaman inderawi. Seperti ramalan Jayabaya di atasyang juga a-priori. Kita sebagai orang yang terpelajar sering kali memandang hal-hal macam itu dengan penolakan. Namun pernahkah kita memandang hal itu melalui sudut pandang yang lain? Bila diartikan maka ramalan hampir sama dengan sebuah hal yang diperhitungkan atau prediksi. Itulah asumsi. Hal tersebut bila kita sedikit dicerna bisa juga dipahami sebagai peringatan kepada generasi penerus. Sayangnya itu tak tersampaikan dan prediksi yang ditulis Jayabaya benar-benar terjadi saat ini.
Kita kembali lagi terhadap asumsi. Setiap manusia selalu berasumsi. Ketika membuat taman maka kita berasumsi bahwa taman yang bagus adalah taman yang indah di waktu malam. Di lain waktu kita berasumsi bahwa yang dibutuhkan mahasiswa adalah gedung baru tempat kegiatan mereka berlangsung. Mahasiswa sendiri berasumsi tentang mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang cepat lulus dan mendapat nilai baik. Si perguruan tinggi  berasumsi untuk menjaga nama yang katanya besar maka harus juga ikut arus zaman menjadi kampus yang katanya educopolis. Asumsi terus saja berjalan dan seperti biasa, pemilik asumsi akan lupa menanyakan apakah itu yang diinginkan si obyek asumsi. Seperti asumsi dalam tulisan ini, yang tak pernah mempertanyakan asumsi dari pembaca yang juga selalu berasumsi.

Senin, Mei 09, 2011

M-Anus-ia

saya sadar setiap manusia dimiliki kelebihan dari mahluk lainnya. dan memang terbukti benar bahwa manusia dari asalnya dari sudut pandang mana pun selalu terbukti bahwa manusia tidak berasal dari hewan. kita adalah spesies kesempurnaan. tapi saya sendiri tak suka menggunakan kata spesies bagi manusia. kita buka keluarga macaca atau apapun itu. kita adalah manusia. manusia yang terlalu manusia.
kita dianugerahi otak yang mampu berakal, berencana, juga berpikir secara sistematis bahkan acak. apalah kurangnya. tak ada yang menandingi manusia dalam menggunakan otak. bahkan hewan tercerdas sekalipun.
namun,terkadang saya dan juga yang lain akhirnya terjerumus dalam dogma ini. kita terlalu bergembira dan lalu mengenangnya selalu bahkan membawa kemana-mana bahwa kita adalah manusia. jauh lebih hebat dari mahluk nyata yang lain. benarkah begitu?
dalam hakikatnya seharusnya mereka yang paling dalam segala hal mengayomi, melindungi, menata dan yang me semualah asal yang baik-baik terhadap mahluk lain. tapi nyatanya? inikah manusia? entahlah. saya sendiri masih sering terkadang membunuh semut hanya karena menggigit saya walaupun saya sering memberi mereka makanan di dalam kamar pengap kecil saya.
ketika merasuk dalam ranah dogma. maka kita dapati bahwa manusia juga mahluk yang paling sempurna di banding mahluk-mahlukNya yang lain. manusia diberi nafsu tapi juga nurani. hal yang tak dimilik oleh mahluk lainnya. syetan hanya mempunyai nafsu, bukan nurani begitu kata-kata digma yang saya pahami sehingga mereka mampu konsisten dengan sangat sabar dalam menghasut manusia. malaikat sendiri hanya diberi nurani tanpa nafsu sehingga mereka begitu patuh tanpa kompromi menaati segala kehendakNya. dan manusia sendiri bebas memilih untuk mempergunakan nurani juga nafsu mereka.
tak perlulah saya bahas dogma untuk membuktikan kebenarannya karena dilihat dari sudut pandang manapun dogma-dogma ini selalu benar. sempurna. tiadalah hasil bagi mereka yang menyangkal karena dogma ini datangnya dari Pencipta merera sendiri. tapi bila kita lihat dari kacamata manusia sebagai manusia akan kita dapati hal-hal yang rancu.
bila manusia memang lebih buruk dari malaikat mengapa kita yang di uji ata duanugerahkan (bahasa mereka yang merasa oprimis tanpa negatif) untuk turun ke dunia dan bebas memilih jalan? bukankah hanya yang terbaik yang selalu di uji? ujian pun datang makin lama makin berat karena hanya yang mamapu di uji lah yang akan di uji. begitu bukan?
jika ada yang beranggapan bahwa manusia lebih baik dari malaikat (bahasa mereka yang megalomaniac tanpa negatif). mengapa manusia banyak yang masuk neraka? mengapa manusia sendiri kadang tak mengeri posisinya atau tempat terbaiknya? malaikat sudah tahu peranannya dan juga tempat terbaiknya!
kali ini banyak manusia yang menghujat setan,iblis, atau apapun itu. manusia itu lebih baik dari iblis (bahasa mereka yang putih tanpa negatif).  dan ini setiap manusia sama pandangannya. timbul lai sebuah pertanyaan. bukankah manusia lebih serakah dari iblis? bukankah manusia lebih jahat dari iblis? iblis sendiri selalu berkerja sama sesamanya dan saling bahu membahu dalam mengerjakan kehendaknya. manusia? saling membunuh atau saling menjatuhkan? bahkan manusia sendiri takut pada setan. jadi mana yang lebih baik?
saya sendiri ketika timbul pertanyaan tak jelas seperti itu maka akan tersenyum dan selalu mengaggungkan manusia. karena saya yakin. manusia selalu terlalu manusia. dan tugas manusia hanyalah menjadi manusia dengan segala konsekuensinya.

bletak-bletuk

terkadang kita tertawa lalu anggap semua baik-baik saja. berjalan lurus tanpa indahkan kanan dan kiri. tanpa kejutan. ada pula yang lain. orang-orang lebih suka berbelak-belok sampai akhir. tak perlulah artikan itu. kau mengerti makna loyalitas. tentang jalan sendiri,kita tahu. ada yang keras berbatu,lalu berlubang,bahkan terkadang ada yang tanah setapak. kita sering benci ini jalan,maka jika ada persimpangan yang hadirkan itu jalan di salah satu simpang dan ulurkan yang keras halus tanpa geronjal,kita akan pilih yang terakhir. efisiensi waktu katanya. tapi mengapa selalu?terkadang memang ini yang harus dipilih,tapi mengapa selalu?
kita kadang kesampingkan ini untuk gelar,untuk tujuan yang belum akhir dan pendek. yang aku tahu jalan berbatu tanah setapak itu lebih bersensasi. ada banyak ilmu! juga pemandangan! bukankah begitu?lalu dimana makna pembelajaran?ada yang bilang sejak kita menghirup dunia maka sejak itulah kita belajar,tapi mana esensinya?menghapal?meniru?lalu cerca yang sudah ada?evaluasi katanya.
kita sering berada dalam persimpangan,tapi apa yang kita pilih?kita sering jadi pragmatis lalu akhirnya menuduh yang lain pragmatis. bingung?maka belajarlah,sesuatu yang berbatu dan bertanah itu belum tentu buruk. asalkan kita selalu berpegang pada kebenaran dan berlomba untuk kebaikan. hidup bukan tentang gelar jabatan melainkan tentang perbuatan!

Minggu, Mei 08, 2011

orang-orang di simpang jalan

terkadang kita tertawa lalu anggap semua baik-baik saja. berjalan lurus tanpa indahkan kanan dan kiri. tanpa kejutan. ada pula yang lain. orang-orang lebih suka berbelak-belok sampai akhir. tak perlulah artikan itu. kau mengerti makna loyalitas. tentang jalan sendiri,kita tahu. ada yang keras berbatu,lalu berlubang,bahkan terkadang ada yang tanah setapak. kita sering benci ini jalan,maka jika ada persimpangan yang hadirkan itu jalan di salah satu simpang dan ulurkan yang keras halus tanpa geronjal,kita akan pilih yang terakhir. efisiensi waktu katanya. tapi mengapa selalu?terkadang memang ini yang harus dipilih,tapi mengapa selalu?
kita kadang kesampingkan ini untuk gelar,untuk tujuan yang belum akhir dan pendek. yang aku tahu jalan berbatu tanah setapak itu lebih bersensasi. ada banyak ilmu! juga pemandangan! bukankah begitu?lalu dimana makna pembelajaran?ada yang bilang sejak kita menghirup dunia maka sejak itulah kita belajar,tapi mana esensinya?menghapal?meniru?lalu cerca yang sudah ada?evaluasi katanya.
kita sering berada dalam persimpangan,tapi apa yang kita pilih?kita sering jadi pragmatis lalu akhirnya menuduh yang lain pragmatis. bingung?maka belajarlah,sesuatu yang berbatu dan bertanah itu belum tentu buruk. asalkan kita selalu berpegang pada kebenaran dan berlomba untuk kebaikan. hidup bukan tentang gelar jabatan melainkan tentang perbuatan!
ocehan dekat fajar

ada banyak yang memuja sesuatu hal yang sering tak terkira oleh nalar. hal-hal yang mungkin menjadi keseharian bahkan kewajiban yang tak tertulis bagi tiap-tiap manusia. semua terbuai. semua tertelikung. masih adakah yang sadar? terutama mereka yang masuk dalam lingkarannya juga sel-sel pembentuknya?
tak pernah kita diperintahkan untuki bersistem pada hal-hal tersebut.hanya diharuskan pada saat-saat baik tertentu kita mematuhinya. sebuah kebodohan jika kita hanya terus mengikuti tanpa tahu mengapa dan apa tujuannya.
pembalikan yang benar-benar sukses. apakah itu? buka mata, buka hati, juga pikiran agar kau tahu maksudku
waktu terbaik adalah saat yang lain lain lengah dan kita siap. tetapi semua dibalikkan. manusia memang mudah dibohongi. juga dibuai. sedikit saja mendapatkan hal yang katanya baik atau agung lalu mereka menjadi puas dan takut keluar darinya. mereka lalu mereka menjadi budak-budak belian kala yang menjadi indah padahal hanya sendatan yang nyata bagi dirinya.
hitam seakan-akan menjadi setan lalu malam menjadi setan dan siang adalah teman maka terang adalah malaikat.
benar-benar impian mereka yang menjadi kenyataan. menguasai bukan hanya ekonomi ataupun sektor lainnya bahkan kebiasaan manusia!
sekarang tinggal kita yang berani atau tidak mengubah segalanya. membenahi peradaban bukan berarti menjadi kearab-araban ataupun menjadi nusantara lama yang terlena lalu bermalas-malasan.
berani pulakah kita menjadi beda? bahkan sekarang pun mereka menjadi beda selalu dikucilkan, bahkan dianggap menjadi tidak baik. wajar saja kita sedikit punya orang jenius yang sukses. mereka dikucilkan bahkan selalu merasa terasing dan akhirnya terbunuh oleh sepinya sendiri. karena beda menjadi hal yang menakutkan bagi kita. hanya mengikut bahkan mengekor yang kita mampu.
ini bukanlah omong kosong belaka. jika kita mampu mencerna maka akan kita temukan musuh besar dalam hal yang dibicarakan ini. dan bila ini tak mampu dibuktikan maka aku takan menangis. setidaknya ini  telah dicoba dan akhirnya mati dengan membawa segala semangat.
lihatlah disaat tak ada suara maka kau akan sadar apa yang kumaksud. bangunlah dan terjagalah. kita bangun segalanya. walau berdarah-darah bhakan tak terjamah dengan mereka yang mengatasnamakan dirinya kesuksesan versi mereka. semangat. bunuh segala dengan jiwa yang penuh nyala.
dan bila tulisan ini mengganggu maka anggaplah saja sebagai ocehan dekat fajar yang sang penulisnya saja tak sadar bahkan tak mengerti apa yang dituliskannya. karena memang begitu adanya
wengi

lama ku tak nikmati hidup
berkeluh kesah juga bersandar
pada gelap yang sering bersua
tersirap terjaga pada nyenyaknya tangisan
bunga kelabu di merah jingga wajahmu

aku tak berharap
hanya bersiap lancarkan otak, doa, juga tenaga
banyak yang tertawa. picingkan mata
sok tua lalu berkata bijak dengan isi yang cekak

semua terbalik
seperti kembali di jaman udik
saat kau dan aku masih umbar ingus kecil
dan tertawa renyah tanpa gelayut sendu di wajah

balik usia menerka
kerontang kekeringan mulai melanda
ah,,, apa jua kau bicara padaku
semua hanya kata semu dari mulutmu
tuk lancarkan aksimu???
atau terkenalkan rupamu????

hidup hanyalah cobaan
agar setiap kita tahu kemana jalan
bukan hanya lurus
tapi seperti yang kau inginkan!