Sabtu, Oktober 27, 2012

Damai itu indah?

Permusuhan seringkali dipandang sebagai hal yang negative. Ketika kedamaian menjadi idaman, sebuah anggapan ideal yang menjadi harapan semua mayoritas manusia. Akhirnya pun timbul ungkapan damai itu indah. Laiknya rotasi bumi yang terus berputar, ataupun gerak sistem tata surya yang terus teratur tanpa ada kendala, manusia sebagai mahluk sosial pun berkeinginan demikian. Aku, kau, dan mereka, tak ingin rasanya ada pertikaian ataupun konfrontasi.

Sadar atau tidak, saya pikir konfrontasi selalu hadir dalam tiap detik nafas yang terhembus. Kecil saja indikatornya, kompetisi. Ya, kompetisi, adalah sebuah perlawan diri yang lalu diaplikasikan dalam mempertahankan eksistensi kita sebagai manusia, diri sendiri. Hidup saja harus sudah melawan sejak dilahirkan. Lihat saja ketika bayi-bayi mungil lahir, mereka harus menangis sebagai asupan oksigen pertama yang dapat masuk dan mengalir ke dalam tiap sel darah tubuh ini. Kejadian tersebut saya cerna sebagai sebuah perlawan diri ini melawan keprasahan mutlak, tanpa usaha. Menangis itu usaha psikis seseorang melawan kehendak tubuh yang diam, hingga akhirnya kita bereaksi dan keluarlah jeritan tangis dari mulut mungil ini. Gerak sistem tubuh pun demikian, otak memerintah setiap organ sel yang ada melalui neurotransmitter untuk bekerja sesuai dengan bagiannya. Kita memang tidak sadar, tapi memang otak yang memerintah secara penuh. Otoriter benar kerjanya.

Waktu berlalu, kita pun tumbuh kembang secara alami. Dalam proses pertumbuhan pun semua sel yang ada melawan keseimbangan yang telah tercipta sebelumnya agar ada yang diperbaharui. Begitu seterusnya.

Saya sedikit beranggapan bahwa apa yang terjadi pun mulai nampak dalam eksistensinya secara menyeluruh. Jika ingin tetap hidup, maka semua sel harus terus berjuang melawan kematian. Itu perlawan secara tidak sadar. Akan tetapi, seiring mendewasanya mental ini, maka kita pun seakan menolak bentuk perlawanan. Alasannya, damai itu indah. Kedamaian menjadi harapan besar yang selalu diagungkan.

Konsep pendidikan yang mengajarkan bahwa kedamaian adalah sebuah hal yang pasti baik, belum tentu benar mutlak adanya. Hal ini diwujudkan untuk membentuk keadaan agar tetap normative, tidak meledak-ledak, melenceng dari apapun. Akibatnya, kita lupa , bahwa ada keadaan-keadaan tertentu di mana kita harus melawan, angkat suara, bahkan kalau perlu senjata. Ketika penindasan terjadi, saat ketidakadilan merajalela, sebagai manusia yang bermartabat tentu kita tak semestinya berdiam diri saja.

Namun, sepertinya konsep kedamaian yang telah dimutlakan melalui pendidikan formal telah berhasil. Manusia kebanyakan akan lebih mencari zona nyaman, dimana ia akan merasa damai, tenang, tanpa gejolak yang berarti. Akibatnya, muncul wacana sukses yang ideal. Hal ini tertuang dalam setiap ucapan maupun peraturan yang ada, misalnya sukses adalah mereka mampu lulus kuliah lebih cepat daripada yang lain dengan IPK cumlaude. Benarkah demikian? Bukankah lulus adalah sebuah keputusan dari perhitungan yang begitu macam banyak faktornya? Selain itu, saya yakin skor murni dari seseorang tak akan mampu terlihat, ataupun tertuang dalam angka nilai yang mungkin dari soalnya saja sudah tidak favorable. Lantas bagaimana?  Tentu tak bisa digeneralisir sedemikian mudahnya untuk menentukan kesuksesan dalam berkuliah. Karena kesuksesan akan berbeda-beda kuantifikasinya bagi setiap manusia.

Berbicara permusuhan maka akan terbayangan dalam pikiran kita, semua hal yang mengerikan. Seakan-akan kita lupa bahwa kita sendiri secara alamiah telah mencoba memusuhi kematian sejak awal kita hidup. bagi yang beragama tentu kita akan memusuhi semua hal dari setan. Lantas, masih perlu kita generalisirkah bahwa permusuhan itu buruk? Bagi saya, tidak. Kalau perlu perlawanan maka semua bagian ini akan bergerak. Bahkan jika memang ketidakadilan begitu menjadi rezim, maka saya ikut terhadap wiji thukul, kusiapkan pemberontakan!

1 komentar:

  1. seru sekali baca ini luthfi, terutama di bagian skor murni-itu mengingatkanku sama kuliahnya pak azwar.
    seingatku dulu di pelajaran sosiologi membahas tentang konflik, ada akibat baik di samping akibat buruknya. akibat baik dari konflik: memperkuat solidaritas internal, sehingga mereka makin kukuh buat mencapai tujuan bersama. mungkin ini yang jarang diperhatikan orang-orang saat berpendapat mengenai konflik, permusuhan, kekacauan. maap kalau ngga nyambung tentang tulisanmu.

    BalasHapus