Damai itu indah?
Permusuhan seringkali dipandang sebagai
hal yang negative. Ketika kedamaian menjadi idaman, sebuah anggapan ideal yang
menjadi harapan semua mayoritas manusia. Akhirnya pun timbul ungkapan damai itu
indah. Laiknya rotasi bumi yang terus berputar, ataupun gerak sistem tata surya
yang terus teratur tanpa ada kendala, manusia sebagai mahluk sosial pun
berkeinginan demikian. Aku, kau, dan mereka, tak ingin rasanya ada pertikaian
ataupun konfrontasi.
Sadar atau tidak, saya pikir konfrontasi
selalu hadir dalam tiap detik nafas yang terhembus. Kecil saja indikatornya,
kompetisi. Ya, kompetisi, adalah sebuah perlawan diri yang lalu diaplikasikan
dalam mempertahankan eksistensi kita sebagai manusia, diri sendiri. Hidup saja
harus sudah melawan sejak dilahirkan. Lihat saja ketika bayi-bayi mungil lahir,
mereka harus menangis sebagai asupan oksigen pertama yang dapat masuk dan
mengalir ke dalam tiap sel darah tubuh ini. Kejadian tersebut saya cerna
sebagai sebuah perlawan diri ini melawan keprasahan mutlak, tanpa usaha.
Menangis itu usaha psikis seseorang melawan kehendak tubuh yang diam, hingga
akhirnya kita bereaksi dan keluarlah jeritan tangis dari mulut mungil ini.
Gerak sistem tubuh pun demikian, otak memerintah setiap organ sel yang ada
melalui neurotransmitter untuk bekerja sesuai dengan bagiannya. Kita memang
tidak sadar, tapi memang otak yang memerintah secara penuh. Otoriter benar
kerjanya.
Waktu berlalu, kita pun tumbuh kembang
secara alami. Dalam proses pertumbuhan pun semua sel yang ada melawan
keseimbangan yang telah tercipta sebelumnya agar ada yang diperbaharui. Begitu
seterusnya.
Saya sedikit beranggapan bahwa apa yang
terjadi pun mulai nampak dalam eksistensinya secara menyeluruh. Jika ingin
tetap hidup, maka semua sel harus terus berjuang melawan kematian. Itu perlawan
secara tidak sadar. Akan tetapi, seiring mendewasanya mental ini, maka kita pun
seakan menolak bentuk perlawanan. Alasannya, damai itu indah. Kedamaian menjadi
harapan besar yang selalu diagungkan.
Konsep pendidikan yang mengajarkan bahwa
kedamaian adalah sebuah hal yang pasti baik, belum tentu benar mutlak adanya.
Hal ini diwujudkan untuk membentuk keadaan agar tetap normative, tidak
meledak-ledak, melenceng dari apapun. Akibatnya, kita lupa , bahwa ada
keadaan-keadaan tertentu di mana kita harus melawan, angkat suara, bahkan kalau
perlu senjata. Ketika penindasan terjadi, saat ketidakadilan merajalela,
sebagai manusia yang bermartabat tentu kita tak semestinya berdiam diri saja.
Namun, sepertinya konsep kedamaian yang telah
dimutlakan melalui pendidikan formal telah berhasil. Manusia kebanyakan akan
lebih mencari zona nyaman, dimana ia akan merasa damai, tenang, tanpa gejolak
yang berarti. Akibatnya, muncul wacana sukses yang ideal. Hal ini tertuang
dalam setiap ucapan maupun peraturan yang ada, misalnya sukses adalah mereka
mampu lulus kuliah lebih cepat daripada yang lain dengan IPK cumlaude. Benarkah
demikian? Bukankah lulus adalah sebuah keputusan dari perhitungan yang begitu
macam banyak faktornya? Selain itu, saya yakin skor murni dari seseorang tak
akan mampu terlihat, ataupun tertuang dalam angka nilai yang mungkin dari
soalnya saja sudah tidak favorable. Lantas bagaimana? Tentu tak bisa digeneralisir sedemikian
mudahnya untuk menentukan kesuksesan dalam berkuliah. Karena kesuksesan akan
berbeda-beda kuantifikasinya bagi setiap manusia.
Berbicara permusuhan maka akan
terbayangan dalam pikiran kita, semua hal yang mengerikan. Seakan-akan kita
lupa bahwa kita sendiri secara alamiah telah mencoba memusuhi kematian sejak
awal kita hidup. bagi yang beragama tentu kita akan memusuhi semua hal dari
setan. Lantas, masih perlu kita generalisirkah bahwa permusuhan itu buruk? Bagi
saya, tidak. Kalau perlu perlawanan maka semua bagian ini akan bergerak. Bahkan
jika memang ketidakadilan begitu menjadi rezim, maka saya ikut terhadap wiji
thukul, kusiapkan pemberontakan!
seru sekali baca ini luthfi, terutama di bagian skor murni-itu mengingatkanku sama kuliahnya pak azwar.
BalasHapusseingatku dulu di pelajaran sosiologi membahas tentang konflik, ada akibat baik di samping akibat buruknya. akibat baik dari konflik: memperkuat solidaritas internal, sehingga mereka makin kukuh buat mencapai tujuan bersama. mungkin ini yang jarang diperhatikan orang-orang saat berpendapat mengenai konflik, permusuhan, kekacauan. maap kalau ngga nyambung tentang tulisanmu.