Senin, Agustus 24, 2015

Sampah Sembilan Bulan

Hidup semakin banal ketika jauh dari belajar dan buku. Lembaran demi lembaran aksara yang tercetak rapi, serta kencangnya perputaran otak untuk mengerti segala sesuatu, jauh membikin tiap tarikan nafas lebih berwarna.
Tak hanya itu. Memandang sekitar dengan jeli sambil berpikir apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi secara ideal, membuat tiap langkah yang dijejakkan dalam lengkang kangkung kehidupan jadi menarik. Sayangnya, semua itu akan maksimal ketika otakmu bersahabat dengan keadaan, imajinasimu berdasar pada kenyataan.

Sembilan bulan sudah berlalu. Konyol rasanya menjadi sarjana tapi malah diam terpaku. Seakan-akan hati ini masih berdecak kagum. Inikah rasanya jatuh ke dalam hutan lebat kehidupan dengan seluruh macam hewan buas dan tetumbuhan liar? Atau pelaut yang akan berlayar jauh menjelajah samudera namun bingung menentukan arah tujuan karena kompas hanya penunjuk arah, bukan daratan, sebagai tujuan akhir perjalanan?


Ini mungkin fase paling menegangkan, getir, juga memalukan dalam hidup saya. Tak ada produktivitas ataupun lompatan-lompatan aksi dalam implementasi ide. Pikiran pun bergerak liar. Tetapi apa guna ide-ide cemerlang tanpa gerakan nyata sebagai pembuktian? Ya, begitulah sembilan bulan berlalu, begitu saja, tak berguna.


Berbagai macam dapur kapital telah kucoba untuk kumasuki. Belum ada yang bisa menerima. Selalu ada dua kemungkinan, saya terlalu bodoh, hingga saya tak pantas untuk memegang titel sebagai kaum pekerja, atau saya memang tak cocok untuk menjadi bagian dari cerobong asap produksi mereka? Sampai detik ini belum kutemukan jawabnya.


Rasa-rasanya, seperti sampah saja saya. Jika diibaratkan barang, maka universitas adalah pabrik, dan saya sebagai sarjana adalah hasil. Barang ini kemudian setelah proses produksi selesai, dibiarkan saja teronggok di depan dengan label yang terlihat jelas. Kemudian, para agen-agen kapital sebagai pemulung, memungutinya. Mereka akan memilah-milah, mana yang bisa didaur ulang, mana yang tidak. Jika didapati barang tersebut bisa didaur ulang, mereka ambil dengan riang gembira, mereka pakaj dengan batas maksimal 35 tahun. Jika tidak bisa diolah, maka barang yang masih teronggok akan diubah dalam bentuk lain sebagian, menjadi barang-barang baru yang berguna untuk barang-barang lainnya, barang substitusi. Sebagian lain yang tak terambil pemulung dan tak juga mengubah dirinya menjadi barang substitusi, biasanya menjadi sampah, atau jika mau, mereka bisa menjadi fosil atau zombie dalam sisa masanya hingga kadaluarsa.


Begitulah pikiran-pikiran yang mengusik saya hingga tak tenang dalam sembilan bulan ini. Namun setidaknya selalu ada waktu untuk berubah. Bagaimana kita menyusun arah dan tujuan. Bagaimana kita berubah menjadi dan beraksi. Seperti murakami bilang, kau masih terlalu muda untuk menyerah. Ia sendiri mulai menulis novel di umur setengah baya. Lalu apa yang kutunggu? Kematian menghampiri hingga menjadi sampah yang makin membusuk? Atu menjadi kompos yang memberikan kehidupan dengan cara yang elegan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar