Pendidikan
adalah investasi bangsa. Kemajuan Negara tentu saja bertumpu pula pada kemajuan
pendidikannya. Sayang, di Indonesia tak semua mendapatkan kesempatan mengenyam
pendidikan secara adil. Terjadi perbedaan kasta dalam setiap jenjang pendidikan
formal. Dibentuknya RSBI dengan biaya mahal dan juga besarnya uang yang harus
dikeluarkan untuk menempuh pendidikan tinggi, menjadi sebuah ketakutan bagi rakyat
marginal kelas bawah.
Mahasiswa
adalah orang yang beruntung, bernasib baik, sehingga berkesempatan menimba ilmu
pengetahuan di perguruan tinggi, kata Soe Hok Gie. Oleh karena itu, salah satu
tanggung jawab moralnya adalah membantu mereka yang tak sempat merasakan
indahnya kuliah. Membagikan ilmu yang didapat merupakan sebuah cara yang cukup
diminati. Berbagai kampus kini mengadakan gerakan mengajar. UI mengajar, UGM
mengajar, dsb. Entah latah dari Gerakan Indonesia Mengajar yang dicetuskan
Anies Baswedan ataupun inisiatif kampus yang bersangkutan, tak jadi soal.
Gerakan tersebut berimbas positif pada pendidikan kaum pinggiran. Kaum yang
jarang tersentuh oleh program wajib belajar pemerintah.
Akan tetapi,
konsep tanggung jawab pendidikan oleh mahasiswa tersebut, terdapat banyak
anggapan berbeda. Sistem kelas dalam kehidupan terutama sektor ekonomi masih
menjadi primadona pemikiran mahasiswa. Alih-alih membagikan ilmu secara gratis,
dengan alasan kebutuhan hidup yang besar untuk merantau merajut mimpi, mahasiswa
banyak menjadi guru les privat ataupun bimbel yang tentu saja menarik sejumlah
uang dari siswanya. Jumlahnya tentu berbeda-beda, tetapi bila dilihat dari
hakikatnya kembali lagi dijumpai bahwa mereka kaum berduitlah yang bisa
mendapatkan pendidikan.
Pendidikan pun
diatur dalam UUD 1945, setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Tak
ada sistem kelas. Karenanya, pendidikan merupakan hak mutlak bagi seluruh warga
Negara. Tak peduli mereka mempunyai biaya atau tidak.
Melihat lagi konsep
nasib bagi mahasiswa, alangkah indahnya jika semua mahasiswa yang bersedia
membagi ilmu, mengajar, pun secara cuma-cuma. Layaknya konsep asli dari
angkringan, tempat bertukar pikirannya antara kaum terpelajar dengan siapa
saja, terutama mereka yang tak mampu mengenyam sekolah, sampai pedagangnya! Syukur,
andai saja pemerintah memberikan perhatian dengan memberikan beasiswa bagi
mereka yang rela meluangkan waktu untuk mengajar. Nyatanya, dunia tak seindah
dengan angan. Pendidikan tetap menggiurkan untuk diperjual belikan, dan
mahasiswa semakin tercekik dengan besarnya biaya dalam kehidupan. Jadi,
mahasiswa memilih yang mana? kebutuhan atau kepedulian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar