Minggu, Oktober 28, 2012

Kepedulian atau Kebutuhan?



Pendidikan adalah investasi bangsa. Kemajuan Negara tentu saja bertumpu pula pada kemajuan pendidikannya. Sayang, di Indonesia tak semua mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan secara adil. Terjadi perbedaan kasta dalam setiap jenjang pendidikan formal. Dibentuknya RSBI dengan biaya mahal dan juga besarnya uang yang harus dikeluarkan untuk menempuh pendidikan tinggi, menjadi sebuah ketakutan bagi rakyat marginal kelas bawah.

Mahasiswa adalah orang yang beruntung, bernasib baik, sehingga berkesempatan menimba ilmu pengetahuan di perguruan tinggi, kata Soe Hok Gie. Oleh karena itu, salah satu tanggung jawab moralnya adalah membantu mereka yang tak sempat merasakan indahnya kuliah. Membagikan ilmu yang didapat merupakan sebuah cara yang cukup diminati. Berbagai kampus kini mengadakan gerakan mengajar. UI mengajar, UGM mengajar, dsb. Entah latah dari Gerakan Indonesia Mengajar yang dicetuskan Anies Baswedan ataupun inisiatif kampus yang bersangkutan, tak jadi soal. Gerakan tersebut berimbas positif pada pendidikan kaum pinggiran. Kaum yang jarang tersentuh oleh program wajib belajar pemerintah.

Akan tetapi, konsep tanggung jawab pendidikan oleh mahasiswa tersebut, terdapat banyak anggapan berbeda. Sistem kelas dalam kehidupan terutama sektor ekonomi masih menjadi primadona pemikiran mahasiswa. Alih-alih membagikan ilmu secara gratis, dengan alasan kebutuhan hidup yang besar untuk merantau merajut mimpi, mahasiswa banyak menjadi guru les privat ataupun bimbel yang tentu saja menarik sejumlah uang dari siswanya. Jumlahnya tentu berbeda-beda, tetapi bila dilihat dari hakikatnya kembali lagi dijumpai bahwa mereka kaum berduitlah yang bisa mendapatkan pendidikan.

Pendidikan pun diatur dalam UUD 1945, setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Tak ada sistem kelas. Karenanya, pendidikan merupakan hak mutlak bagi seluruh warga Negara. Tak peduli mereka mempunyai biaya atau tidak.

Melihat lagi konsep nasib bagi mahasiswa, alangkah indahnya jika semua mahasiswa yang bersedia membagi ilmu, mengajar, pun secara cuma-cuma. Layaknya konsep asli dari angkringan, tempat bertukar pikirannya antara kaum terpelajar dengan siapa saja, terutama mereka yang tak mampu mengenyam sekolah, sampai pedagangnya! Syukur, andai saja pemerintah memberikan perhatian dengan memberikan beasiswa bagi mereka yang rela meluangkan waktu untuk mengajar. Nyatanya, dunia tak seindah dengan angan. Pendidikan tetap menggiurkan untuk diperjual belikan, dan mahasiswa semakin tercekik dengan besarnya biaya dalam kehidupan. Jadi, mahasiswa memilih yang mana? kebutuhan atau kepedulian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar