Kamis, Januari 10, 2013

Haya dan Baju Keyakinan


Seseorang tak pernah lepas dari apa yang diyakininya. Tentu saja karena ia manusia. Tak luput dari perasaan dan juga akal pikiran yang membutuhkan kepercayaan hingga bersifat yakin. Seorang yang memiliki agama tentu akan berkeyakinan. Bahkan yang atheis sekalipun yakin atas dirinya sendiri, tentang apa yang ia pikirkan dan juga ia lakukan.
Saya kenal beberapa orang yang baik sekali pengetahuannya dalam agama. Saya juga kenal yang mungkin buruk sekali pengetahuannya. Sekali lagi, ini baru dalam tahap pengetahuan, bukan tentang penerapan sampai keyakinan.Apa yang saya tuliskan di atas kemudia saya renungi kembali. Saya resapi dalam-dalam sampai ke sum-sum yang terdalam. Saya makin ragu dengan apa yang saya tuliskan tersebut. Seseorang tak pernah lepas dari apa yang diyakininya. Entah mengapa, saya mulai ragu, menilai bahwa yakin bisa jadi belum pasti, mungkin iya hanya percaya, bukan yakin. Mengapa sebabnya, hanya karena seorang kawan yang sebut saja namanya Haya berperilaku. Begini kisahnya.Haya adalah seorang yang cakap, baik dalam penampilan maupun tingkah laku secara sekilas. Pada awalnya saya begitu simpati, wajar kami berasal dari SMA sedaerah. Pernah sama-sama bergerak pada organisasi yang sama. Awalnya, dia tak pernah sekalipun terlihat cacat ataupun buruk di mata saya.Haya tampaknya orang yang lurus. Ia selalu berperilaku sopan, bahkan hangat di setiap kesempatan. Hingga tiba suatu waktu saya harus mengenalnya lebih dekat sebagai sahabat. Ternyata semua hanya persona, ya persona, sebuah topeng yang dipergunakan di depan umum untuk mendapatkan citra.Haya merupakan mantan seorang pemimpin dari organisasi yang membawa bendera agamanya. Konyolnya, di organisasi tersebut, ia selalu menempatkan dirinya baik, tapi tidak setelah saya kenal. Bagaimana tidak, seorang yang selalu berkoar-koar dengan baju keyakinannya saja tak mampu menjaga barang yang ia pinjam dengan baik. Bukan masalah barang tentunya tapi ketika hilang ia bukan minta maaf melainkan malah memusuhi saya. Itu pertama. Kedua, Haya selalu saja beralasan sibuk ini itu, ngerjain ini itu, padahal ia sendiri banyak tidur di rumah. Dusta sendiri sangatlah di tentang dalam ajaran yang ia yakini. Ketiga, Haya bukan merupakan seseorang yang bertanggung jawab. Selama saya tinggal dengannya, saya tak melihat ia mau membersihkan apa yang ia pakai sendiri, bahkan menaruh handuk saja ia dengan seenak hati di atas handuk yang lainnya. Keempat, ia merupakan seorang yang ingkar janji, seringkali ia ciderai janji. Misal seperti ini, ia tak bawa motor karena kecerobohannya sendiri lupa membawa kunci motornya. Lalu ia meminjam motor saya, saya bilang, dua jam lagi saya mau keluar, tolong jangan pakai lebih dari itu. Ia pun berujar, “ iya.” Kupinjamkanlah motorku itu. Saya tunggu dua jam tak kunjung kembali, hingga iya telat satu jam. Saya pun tak jadi keluar, mengapa? Karena saya keluar itu untuk kuliah dan dosen saat itu hanya mentolerir telat selama lima belas menit.Kelima, Haya tak perduli akan kuliahnya. Ya, semenjak ia aktif di organisasi ia jarang masuk kuliah, dengan alasan sibuk. Saya pikir itu benar, namun seperti kedua di atas, ia hanya tidur-tidur saja. Padahal ia masuk telat satu tahun. Sebelumnya ia kuliah di tempat lain. Baru tiga bulan, ia merengek bilang tak kuat pada orang tua sambil menangis-nangis dan minta pindah. Tahun berikutnya ia terdampar di Yogya. Ya, kuliahnya maburadul. Ia tak tahu jadwal ujian bahkan tak tahu ujian apa. IP merosot drastis. Saya makin bingung, seperti inikah pemimpin?Keenam, Haya tak pernah saya lihat membaca atau belajar secara jelas, apapun itu. Maka dari itu, jika ia berbicara dengan saya maka selalu saja saya bantah, seringkali. Hal ini karena asumsi dasarnya tak pernah kuat dan selalu mengacu pada perasaannya. Saya makin bingung, inikah ketua yang di puja dan dihormati itu?Akhirnya saya sampai pada pemikiran diri sendiri. jangan-jangan Haya itu merupakan representasi dari kebanyakan orang. Jangan-jangan saya sendiri pun mirip Haya, semoga tidak. Ya, saya pikir Haya hanya tahu apa yang iya yakini sebagai baju, dan ia berpendapat itulah keyakinannya, baju. Sedangkan tubuh dan pikirannya berbeda lagi. bisa jadi pula saya yang terlalu cepat menilai Haya. Atau mungkin, Haya-lah yang benar-benar tak berkeyakinan meskipun ia ketua organisasi keyakinan. Namun, dibalik itu semua saya mengambil kesimpulan. Keyakinan bisa jadi tak dimiliki semua orang. Hanya yang dianggap sebagai keyakinanlah yang dimiliki semua orang. Semoga pula, kita bukan Haya yang memakai keyakinan hanya untuk baju, bukan hati dan pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar