Pendidikan
Politik untuk Mahasiswa Segolongan
Beberapa waktu
belakangan ini, bahkan baru saja berakhir, suasana perpolitikan mahasiswa di
kampus UGM ramai. Pemilihan Mahasiswa Raya (Pemira) baru saja usai. Telah
terpilih anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) juga Presiden Mahasiswa
(Presma) BEM KM. Sekitar sebelas ribu mahasiswa berpatisipasi dalam pemira
tahun ini, jumlah yang hampir tak begitu banyak berubah dari tahun kemarin.
Sedikitnya
mahasiswa yang berpatisipasi kadang menimbulkan pertanyaan. Masih
representatifkah hasil pemilihan tersebut? Ataupun barangkali, masih
diperlukankah lembaga-lembaga mahasiswa tersebut?
Tak dapat dipungkiri bahwa perhelatan akbar (kalau masih bisa disebut akbar) Pemira tersebut hanya menjadi pusat perhatian segelintir mahasiswa saja. Kebanyakan dari mereka adalah pengikut organisasi ekstra kampus. Mahasiswa yang sibuk kuliah dan berjuang di ranah yang lain kurang begitu respek terhadap pemira. Tentu saja, tanpa maksud menggeneralisasikan hal tersebut, dapat ditemukan banyak faktor yang memicu terjadinya ketidakacuhan mahasiswa terhadap politik kampus atau mahasiswa tersebut.
Selama satu
dekade terakhir, jelas bahwa politik kampus didominasi oleh salah satu partai
mahasiswa yang berkiblat pada sebuah organisasi ekstra. Selama satu dekade
pula, mereka memenangkan Pemira baik itu dalam pemilihan Presma maupun DPM.
Sebuah hegemoni yang terbentuk dan dibentuk oleh golongan tersebut untuk terus
melanggengkan kemenangan dalam politik mahasiswa.
Bukan maksud
untuk tendensius terhadap golongan tersebut, bukan ingin pula mencerca keadaan
saat ini. Namun, bila kita melihat secara lebih dekat maka semakin terlihat
hegemoni yang terbentuk karena dominasi tersebut. Jumlah mahasiswa UGM yang
sekitar empat puluhan ribu jelas jauh dari jumlah pemilih atau partisipan dalam
pemira. Jumlah tersebut hampir tak mengalami perubahan berarti dalam tiga tahun
belakangan.
Minimnya jumlah
mahasiswa yang berpatisipasi dalam pemira menandakan tak menariknya pemira.
Namun, para partisipan golput bukan berarti pula apatis atau tak memberikan
perhatian. Bisa jadi kemungkinan besar mereka tak tahu menahu akan adanya
pemira ataupun segala tetek bengek
hal lain menyangkut politik mahasiswa. Sosialisasi yang kurang menjadi faktor
utama ketidaktahuan tersebut.
Sebut saja
kongres mahasiswa, suatu perhelatan besar mahasiswa UGM di akhir masa jabatan
KM UGM, yang sepi peminat bahkan diacuhkan oleh mahasiswa UGM sendiri. Laporan
pertanggung jawaban, baik DPM maupun BEM KM, tak jelas entah bagaimana
hasilnya. Kapan perhelatan itu berlangsung dan bagaimana hasil dari kongres
tersebut tak mencuat ke ranah publikasi. Bahkan bila mengacu pada azas
keterbukaan, suatu azas yang sering kita gadang-gadang sebagai salah satu ciri
dari intelektualitas, termasuk azas akuntabilitas, hal tersebut jelaslah
bertolak belakang. Kongres tersebut seakan-akan hanya menjadi sebuah formalitas
belaka dan sebagai kepentingan untuk mengamankan mereka yang telah duduk di
kursi KM UGM setahun belakangan. Baik buruknya kinerja KM UGM setahun belakangan
tetap menjadi misteri notulensi yang tak tersentuh mahasiswa biasa.
Bukan hanya
kongres saja yang tak adanya sosialisasi secara menyeluruh. Mulai dari
perekrutan anggota KPRM, ketentuan pemira, sampai juga pada hasil dari pemira
tersebut terutama hasil akhir anggota DPM terpilih, semua hal tersebut
tersumbat di dalam hasil notulensi rapat saja. Bila kita tanyakan kepada
mahasiswa umum yang otomatis diwakilkan perannya dalam KM UGM, mereka akan tak
tahu menahu siapa saja wakilnya. Hal ini tentu saja menjadi faktor penting akan
peran DPM. Benarkah mereka adalah wakil-wakil yang representative dari
mahasiswa? Atau hanya mewakili partainya saja?
Kurangnya
keterbukaan dari hasil-hasil penting dalam dunia perpolitikan tersebut
menimbulkan sebuah keacuhan dari mahasiswa. Mahasiswa yang tak mengikuti
organisasi ekstra ataupun partai mahasiswa, secara psikologis akan merasa
terpinggirkan. Mereka dianggap sebagai objek pemilih saja, sedangkan dalam
perjalanannya, mereka tetap dicukil namanya dalam setiap forum dan juga
identitas KM UGM itu sendiri, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan
Perwakilan Mahasiswa. Kita akan tetap bertanya, mahasiswa yang mana?
Hegemonitas yang
hampir menyeluruh di semua lini politik mahasiswa UGM itu, baik DPM, KM, bahkan
lembaga tingkat fakultas, membuat pendidikan politik mahasiswa hanya terbatas
pada mereka yang segolongan itu saja. Selain itu, bila dilihat secara kasat
mata, maka akan sulit kita temukan peranan oposisi dalam KM tersebut. Bahkan
bisa dipertanyakan pula, adakah oposisi dalam tubuh KM UGM? Atau
golongan-golongan tersebut sajalah yang memainkan semua fungsi di KM UGM?
Hal tersebut
dapat menjadi perhatian tersendiri. Seperti yang disebutkan dalam teori
dinamika kelompok oleh Forsyit, kohesivitas kelompok yang begitu besar akan
mengakibatkan terjadinya groupthink,
suatu hal yang menyebabkan sebuah kelompok menganggap semua yang ada dirinya
paling benar.
Sedikit melihat
kondisi Indonesia sekarang, dimana para wakil rakyat tak jelas bagaimana kerja
maupun nuraninya, menjadi hal lumrah. UGM sebagai salah satu Universitas
terbaik di ibu pertiwi ini sebagai cerminannya, politik mahasiswa menjadi
sumbernya, dan masa depan menjadi pertaruhannya.
KM UGM yang lama
telah usai dan digantikan oleh mereka yang baru saja terpilih. Waktu terus
berjalan dan dunia tetap berputar. Kita akan melihat, bagaimana sepak terjang
mereka dalam membangun UGM dan juga Indonesia selama satu tahun kedepan. Semoga
sikap kritis yang sering mereka tunjukkan terhadap Rektorat maupun Pemerintah
juga bisa ditusukkan kepada badan mereka sendiri, agar yang merakyat tetap
merakyat.
Bergelap-gelaplah dalam terang,
berterang-teranglah dalam gelap!
*dimuat dalam Balairungpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar