*Dalam
tulisan ini saya kesampingkan semua buku teori yang ada. Saya hanya melihat
dalam kacamata faktual saja sebagai keluh kesah seorang manusia. Opini ini
bersifat subjektif. Tulisan ini pun tak teratur. Kritik dan saran tentu
sangatlah diharapkan oleh penulis,
Manusia
tak mampu hidup sendiri. Mereka berbaur satu dengan yang lain. Biasanya
membentuk kelompok dengan minimal suatu kesamaan, baik itu tujuan, kegemaran,
bahkan sampai kebencian. Tiap-tiap kelompok mau tak mau selalu ada yang dominan.
Hal ini dikarenakan cara interaksi masing-masing manusia berbeda.ada yang kuat,
mudah diterima, dan ada pula yang lemah dan menjadi pasif.
Dominasi
dalam kelompok tersebut seakan-akan menjadikan orang yang dominan tersebut
menjadi pemimpin. Wajar saja ketika pendapat orang tersebut akan lebih mudah
disetujui ataupun diterima oleh yang lainnya. Akumulasi penerimaan tersebutlah
yang mungkin menjadikan seseorang yang dominan tersebut menjadi pemimpin.
Kelompok
yang ada tersebut bisa berupa apa saja, baik itu organisasi maupun komunitas.
Bedanya, organisasi akan lebih tertata siapa yang berhak mengambil keputusan
maupun cara menyampaikan pendapatnya. Pemimpin dalam organisasi lebih kentara,
karena selain ia mendominasi, biasanya pemimpin tersebut diakui secara formal
melalui struktur kepengurusan yang ada. Berbeda dengan komunitas non formal.
Biasanya minim struktur, sehingga keberadaan pemimpin baru akan terlihat dalam
setiap kegiatan yang ada.
Keberadaan
pemimpin yang tak tampak secara pasti dalam komunitas nir struktur tersebut
bukan merupakan masalah. Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi masalah dalam
organisasi. Bila secara struktur yang diletakkan menjadi pemimpin bukan
merupakan pemimpin yang sebenarnya, secara de
facto bisa saja terjadi ambiguitas kepemimpinan, bahkan kudeta. Hal ini
mungkin terjadi bila terdapat selisih pendapat antara pemimpin secara struktur
(lebih sering disebut atasan) dengan pemimpin yang sebenarnya. Akibatnya,
segala keputusan yang diambil menjadi tidak efektif dan juga dapat memicu
perpecahan. Mengingat, salah satu tugas dari pemimpin adalah mengatur kerja dan
ritme yang ada di bawahnya. Oleh karena itulah dalam organisasi bahkan
perusahaan lebih sering disebut sebagai manajer yang tugasnya memang mengatur
struktur di bawahnya.
Hal
inilah yang kira-kira kurang dipahami oleh sebagian mahasiswa. Kita lihat
akhir-akhir ini. Tentu training
kepemimpinan (saya masih bingung dengan penggunaan kata training untuk hal tersebut, seakan-akan tak ada bahasa Indonesia
yang dapat digunakan saja), forum pemimpin, pelatihan pemimpin, dan sebagainya
yang menyangkut kepemimpinan diadakan. Entah karena mereka ke-GR-an (gede
rasa), terlalu narsis, hingga membuat acara seperti itu. Rasa-rasanya hal ini
hanya membuat ambisi melambung tinggi sehingga tak mengerti apa itu pemimpin.
Pelatihan
kepemimpinan tersebut sangatlah membingungkan. Siapa yang mengangkat mereka
menjadi pemimpin? Siapa pula yang mereka pimpin? Kalaupun ia beriwirausaha lalu
menjadi pemimpin, apakan benar mereka pemimpin atau sekadar manajer?
Forum
tersebut hanya menekankan bagaimana menjadi pemimpin yang benar menurut mereka.
Saya kurang mendengar penjelasan yang ada tentang hasil nyata dari
kegiatan-kegiatan tersebut. Bila memang kegiatan tersebut diadakan karena
merasa kurang adanya sumber daya manusia yang dirasa mampu menjadi pemimpin, maka
bukan hal tersebut yang semestinya dilakukan. Perasaan kekurangan pemimpin
sudah ada sejak zaman Plato dan terus berulang hingga kini.
Andaikan
logika dibalik, mungkin saja hal ini terasa karena sedikit yang merasa mau
dipimpin. Ya, bila semua orang berambisi untuk menjadi pemimpin maka yang
terjadi adalah kompetisi menjadi pemimpin. Berbagai cara akan dilakukan mulai
dari menggunakan citra semu, uang,bahkan sampai popularitas tanpa makna. Lihat
saja pemilu, pilkada (seharusnya pakai L jadi pilkadal karena langsung). Tanpa
melihat bagaimana kapasitas yang ada, asalkan berani mencalonkan diri dan punya
modal maka jalan pun tersedia.
Pelatihan
kepemimpinan tersebut pun dilakukan hanya sekadar dua minggu, sebulan, bahkan
ada yang sehari dua hari. Hal ini tentu menggemaskan, bagaimana tidak, jiwa
seorang pemimpin dibentuk hanya dalam tempo singkat. Bila memang demikian,
tentu Gatotkaca tak perlu ditempatkan di kawah candradimuka. Tak perlu pula Soekarno
ikut belajar di rumah Tjokroaminoto, tak perlu Hitler bertahun-tahun membaca
banyak buku. Seakan-akan pemimpin merupakan barang instan. Langsung jadi.
Bagi
saya, dalam melatih kepemimpinan seseorang, maka masukkanlah ia kedalam
organisasi formal yang ada. dari hal tersebut akan tampak, apakah ia memang
mempunyai bakat pemimpin atau dipimpin. Tak semua orang mampu menjadi pemimpin
(kecuali pemimpin dirinya sendiri). Dari organisasi tersebut pula ia akan
ditempa secara keras dan baik. Semakin baik organisasinya maka semakin baik
kualitas yang dihasilkan. Semakin beragam manusia dalam organisasi tersebut
maka akan semakin luas pandangan yang dibentuk. Bukan hanya sekadar sok bijak
mengambil keputusan, tetapi mampu memahami dasar, tujuan, cara, hingga kegunaan
dari keputusan yang ada sehingga benar-benar efektif dan efisien. Lika-liku
organisasi tersebut mau tak mau akan terus mengasah kemampuan, tentu saja bila
ia aktif secara penuh di dalamnya, bukan hanya aktif memberikan nama. Mahasiswa
pun seharusnya sadar, organisasi tersebut berlimpah ruah di kampus, mulai dari
tingkat jurusan, fakultas, hingga universitas bahkan ada pula yang ekstra
kampus. Mana yang lebih baik? Tentu saja sesuai dengan apa yang ingin dicapai.
Namun, sekali lagi, tulisan ini hanya untuk bagi mereka yang berambisi menjadi
pemimpin. Bila tidak, maka cukuplah menjadi seorang yang menimbang segala
sesuatunya secara matang, bukan hanya sekadar menurut ataupun setuju. Bagaimana
dengan saya? Saya ternyata masih belajar menjadi manusia yang baik sebelum
belajar menjadi pemimpin yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar