Kamis, Februari 06, 2014

Pemimpin Cepat Saji = Pemimpi-n?

*Dalam tulisan ini saya kesampingkan semua buku teori yang ada. Saya hanya melihat dalam kacamata faktual saja sebagai keluh kesah seorang manusia. Opini ini bersifat subjektif. Tulisan ini pun tak teratur. Kritik dan saran tentu sangatlah diharapkan oleh penulis,

Manusia tak mampu hidup sendiri. Mereka berbaur satu dengan yang lain. Biasanya membentuk kelompok dengan minimal suatu kesamaan, baik itu tujuan, kegemaran, bahkan sampai kebencian. Tiap-tiap kelompok mau tak mau selalu ada yang dominan. Hal ini dikarenakan cara interaksi masing-masing manusia berbeda.ada yang kuat, mudah diterima, dan ada pula yang lemah dan menjadi pasif.

Dominasi dalam kelompok tersebut seakan-akan menjadikan orang yang dominan tersebut menjadi pemimpin. Wajar saja ketika pendapat orang tersebut akan lebih mudah disetujui ataupun diterima oleh yang lainnya. Akumulasi penerimaan tersebutlah yang mungkin menjadikan seseorang yang dominan tersebut menjadi pemimpin.
Kelompok yang ada tersebut bisa berupa apa saja, baik itu organisasi maupun komunitas. Bedanya, organisasi akan lebih tertata siapa yang berhak mengambil keputusan maupun cara menyampaikan pendapatnya. Pemimpin dalam organisasi lebih kentara, karena selain ia mendominasi, biasanya pemimpin tersebut diakui secara formal melalui struktur kepengurusan yang ada. Berbeda dengan komunitas non formal. Biasanya minim struktur, sehingga keberadaan pemimpin baru akan terlihat dalam setiap kegiatan yang ada.
Keberadaan pemimpin yang tak tampak secara pasti dalam komunitas nir struktur tersebut bukan merupakan masalah. Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi masalah dalam organisasi. Bila secara struktur yang diletakkan menjadi pemimpin bukan merupakan pemimpin yang sebenarnya, secara de facto bisa saja terjadi ambiguitas kepemimpinan, bahkan kudeta. Hal ini mungkin terjadi bila terdapat selisih pendapat antara pemimpin secara struktur (lebih sering disebut atasan) dengan pemimpin yang sebenarnya. Akibatnya, segala keputusan yang diambil menjadi tidak efektif dan juga dapat memicu perpecahan. Mengingat, salah satu tugas dari pemimpin adalah mengatur kerja dan ritme yang ada di bawahnya. Oleh karena itulah dalam organisasi bahkan perusahaan lebih sering disebut sebagai manajer yang tugasnya memang mengatur struktur di bawahnya.
Hal inilah yang kira-kira kurang dipahami oleh sebagian mahasiswa. Kita lihat akhir-akhir ini. Tentu training kepemimpinan (saya masih bingung dengan penggunaan kata training untuk hal tersebut, seakan-akan tak ada bahasa Indonesia yang dapat digunakan saja), forum pemimpin, pelatihan pemimpin, dan sebagainya yang menyangkut kepemimpinan diadakan. Entah karena mereka ke-GR-an (gede rasa), terlalu narsis, hingga membuat acara seperti itu. Rasa-rasanya hal ini hanya membuat ambisi melambung tinggi sehingga tak mengerti apa itu pemimpin.
Pelatihan kepemimpinan tersebut sangatlah membingungkan. Siapa yang mengangkat mereka menjadi pemimpin? Siapa pula yang mereka pimpin? Kalaupun ia beriwirausaha lalu menjadi pemimpin, apakan benar mereka pemimpin atau sekadar manajer?
Forum tersebut hanya menekankan bagaimana menjadi pemimpin yang benar menurut mereka. Saya kurang mendengar penjelasan yang ada tentang hasil nyata dari kegiatan-kegiatan tersebut. Bila memang kegiatan tersebut diadakan karena merasa kurang adanya sumber daya manusia yang dirasa mampu menjadi pemimpin, maka bukan hal tersebut yang semestinya dilakukan. Perasaan kekurangan pemimpin sudah ada sejak zaman Plato dan terus berulang hingga kini.
Andaikan logika dibalik, mungkin saja hal ini terasa karena sedikit yang merasa mau dipimpin. Ya, bila semua orang berambisi untuk menjadi pemimpin maka yang terjadi adalah kompetisi menjadi pemimpin. Berbagai cara akan dilakukan mulai dari menggunakan citra semu, uang,bahkan sampai popularitas tanpa makna. Lihat saja pemilu, pilkada (seharusnya pakai L jadi pilkadal karena langsung). Tanpa melihat bagaimana kapasitas yang ada, asalkan berani mencalonkan diri dan punya modal maka jalan pun tersedia.
Pelatihan kepemimpinan tersebut pun dilakukan hanya sekadar dua minggu, sebulan, bahkan ada yang sehari dua hari. Hal ini tentu menggemaskan, bagaimana tidak, jiwa seorang pemimpin dibentuk hanya dalam tempo singkat. Bila memang demikian, tentu Gatotkaca tak perlu ditempatkan di kawah candradimuka. Tak perlu pula Soekarno ikut belajar di rumah Tjokroaminoto, tak perlu Hitler bertahun-tahun membaca banyak buku. Seakan-akan pemimpin merupakan barang instan. Langsung jadi.

Bagi saya, dalam melatih kepemimpinan seseorang, maka masukkanlah ia kedalam organisasi formal yang ada. dari hal tersebut akan tampak, apakah ia memang mempunyai bakat pemimpin atau dipimpin. Tak semua orang mampu menjadi pemimpin (kecuali pemimpin dirinya sendiri). Dari organisasi tersebut pula ia akan ditempa secara keras dan baik. Semakin baik organisasinya maka semakin baik kualitas yang dihasilkan. Semakin beragam manusia dalam organisasi tersebut maka akan semakin luas pandangan yang dibentuk. Bukan hanya sekadar sok bijak mengambil keputusan, tetapi mampu memahami dasar, tujuan, cara, hingga kegunaan dari keputusan yang ada sehingga benar-benar efektif dan efisien. Lika-liku organisasi tersebut mau tak mau akan terus mengasah kemampuan, tentu saja bila ia aktif secara penuh di dalamnya, bukan hanya aktif memberikan nama. Mahasiswa pun seharusnya sadar, organisasi tersebut berlimpah ruah di kampus, mulai dari tingkat jurusan, fakultas, hingga universitas bahkan ada pula yang ekstra kampus. Mana yang lebih baik? Tentu saja sesuai dengan apa yang ingin dicapai. Namun, sekali lagi, tulisan ini hanya untuk bagi mereka yang berambisi menjadi pemimpin. Bila tidak, maka cukuplah menjadi seorang yang menimbang segala sesuatunya secara matang, bukan hanya sekadar menurut ataupun setuju. Bagaimana dengan saya? Saya ternyata masih belajar menjadi manusia yang baik sebelum belajar menjadi pemimpin yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar