Ada penggalan salah satu hikayat Afganistan berkata, sungguh bodoh orang yang menangisi kesialan
dan tak mau belajar dari pengalaman, ya, kesialan dan pengalaman. Di antara
keduanya, terkadang mereka saling berpelukan mesra. Ibarat sahabat, mereka
berdua terkadang berjalan beriringan, namun tak jarang pula berjalan
sendiri-sendiri, bermusuhan barangkali. Itulah kiranya yang terjadi pada setiap
manusia. Tak ubahnya jalan menuju Roma, berkelok-kelok, naik turun, kadang pula
harus berhenti dan memutar balik.
Ya benar, akhir-akhir ini nasib menjadi salah satu hal yang
paling saya pikirkan. Tak tanggung-tanggung, enam bulan lamanya saya lebih
banyak menghabiskan waktu hanya untuk berpikir satu hal, nasib. Sungguh benar
pula kata Sapardi, waktu yang fana, kita
abadi. Waktu tak terasa teramat cepat berlalu. Enam bulan pikiran itu pun
jadi sia-sia. Bagaimana tidak, segala usaha sudah dikeluarkan akan tetapi,
lagi-lagi nasib yang menentukan. Mungkin beberapa waktu terakhir, si dua
sahabat itu, kesialan dan pengalaman, sedang saling merangkul, bermain gitar
bersama untuk membuat melodi terindah dalam partitur nasib.
Kita abadi. Semua memori akan pengalaman tersimpan dalam
otak, sampai mati, kecuali kau amnesia tentunya. Dan makin bodohlah saya,
jikalau saya masih terus meratapi kesialan yang ada. Belajar ternyata tak cukup
untuk menjalani kehidupan normal. Begitu pula kejujuran, niat yang lurus,
sampai usaha setengah mati, tak cukup untuk membuat menjadi manusia normal.
Rupa-rupanya nasib masih mendengarkan melodi si dua sahabat itu, setidaknya
sampai kemarin.
Masih tentang kedua sahabat itu, acapkali mereka terpisah
karena ada dua orang lain yang ikut nimbrung. Dua yang lain itu menggeser si
kesialan untuk duduk di belakang, bahkan tak jarang sampai jatuh terjengkang. Dua
yang lain itu bernama harapan dan pasrah. Si harapan lahir dari bagian utara,
dimana ia menjadi penunjuk jalan di malam hari. Si pasrah lahir dari bagian
selatan, ia juga jadi penunjuk jalan di malam hari.
Karena itu pula, si nasib terkadang lebih suka dua yang lain
itu bersandingan dengan si pengalaman. Konon katanya, jika mereka berkumpul
bertiga dalam satu waktu, kemudian hari, ketika si nasib sudah berumur setengah
abad, maka si nasib bisa menuliskannya di buku-buku yang diburu para karyawan,
anak-anak kuliahan, sampai ibu-ibu rumah tangga. Tak hanya itu, foto si nasib
pun bisa muncul di sampul terdepan dan berjejer rapi di rak toko-toko buku,
perpustakaan, sampai mejeng di televisi.
Ya begitulah yang kini banyak diidamkan si nasib dan jutaan
kembaran si nasib. Tapi sayang, bagi kehidupan tak normal, si nasib biasanya
memimpikan hal yang berbeda. Apa yang diimpikannya? Tak muluk-muluk, hanya
menjadi normal…….
Hal paling buruk adalah menjadikan laman blog sebagai buku harian pribadi. Semoga saja ini pertama dan terakhir.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar