Nasib Waktu
Waktu. Hidup dimana pun, dari dunia sampai
akhirat, tak pernah terpisahkan dari kata yang lima huruf itu. Mengikat tiap
hal yang nyata maupun tidak, dari maya sampai secara fisik nyata, hingga semua
yang tak terjangkau imajinasi kita.
Layaknya panas bumi, waktu sedemikian
terselubung, terhalang dari fase ke fase, dari lapisan ke lapisan. Tak ada
habisnya ia menggumuli semua yang ada maupun tak ada. Tanpa peduli ia cengkeram
materi, kosmos, hingga uraian ide yang terkecil. Dengan misterius ia runtuti kita,
dia, mereka, sejak konsepsi bahkan ide, sampai jadi sejarah hingga punah tanpa
apa-apa.
Waktu coba diikat manusia dengan segala cara.
Siang dan malam, pagi dan petang, detik, menit, dan jam, hari dan tahun, semua
ditetapkan manusia agar ia sedikit nyata meskipun tanpa bentuk. Sayangnya,
waktu tetap saja terselubung. Ia bersembunyi didalam lapisan terdalam semua
hal. Terkadang ia menerkam dengan cepat, namun kadangkala ia hanya terseret
perlahan mengikuti, bahkan mencoba menahan kita. Lagi-lagi manusia mencoba
mengikatnya, relativitas kata manusia. Kau kencan dengan kekasih tercintamu
maka ia akan mendorongmu dengan keras. akan tetapi jika kau menunggu orang yang
kau benci maka ia akan menahanmu untuk melangkah kea rah tujuan dengan sekuat
tenaga. Itulah ia, waktu, tetap saja terus berjalan, tak peduli.
Segala keabsurdan sang waktu makin
menjerumuskan juga melambungkan segala keinginan sampai aksi setiap hal. Mulai
dari khayalanmu sampai tingkah polahmu. Ia seringkali banal bersembunyi dibalik
ketidaktahuan pikiran, sesekali ia muncul di permukaan sebagai patokan dari
kejadian alam semesta. Jagad raya rupanya tahu, bahwa waktu begitu licin lebih
dari belut sekalipun. Ia turut bersembunyi, berbaring dengan waktu dari awal
mula walaupun jelas ia tak ada bandingannya dengan waktu.
Chairil pernah menulis ‘Aku tak tahu apa nasib
waktu’. Rupanya mungkin ia sadar bahwa ia terikat, tercencang, terpasung pada
hal yang tak mungkin ia pahami secara utuh, waktu. Laiknya ketika kita mencoba
menghitungnya lalu terucap, “tak terasa.” Kitapun tiba-tiba merasa tua, sadar
bahwa banyak hal yang ternyata belum dilakukan. Tapi waktu tetap tak terasa,
tubuh kita sendirilah yang kita rasa, dan sang waktu tetap bersembunyi, absurd.
Waktu tetap saja berjalan, seperti setiap
partikel electron yang terus berputar mengelilingi neutron, tanpa henti. Hingga
akhirnya bibir kita sendiri yang kelu tak sempat berucap, “Tak ada lagi waktu untuk diriku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar