Kamis, September 06, 2012

Nasib Waktu


Waktu. Hidup dimana pun, dari dunia sampai akhirat, tak pernah terpisahkan dari kata yang lima huruf itu. Mengikat tiap hal yang nyata maupun tidak, dari maya sampai secara fisik nyata, hingga semua yang tak terjangkau imajinasi kita.

Layaknya panas bumi, waktu sedemikian terselubung, terhalang dari fase ke fase, dari lapisan ke lapisan. Tak ada habisnya ia menggumuli semua yang ada maupun tak ada. Tanpa peduli ia cengkeram materi, kosmos, hingga uraian ide yang terkecil. Dengan misterius ia runtuti kita, dia, mereka, sejak konsepsi bahkan ide, sampai jadi sejarah hingga punah tanpa apa-apa.

Waktu coba diikat manusia dengan segala cara. Siang dan malam, pagi dan petang, detik, menit, dan jam, hari dan tahun, semua ditetapkan manusia agar ia sedikit nyata meskipun tanpa bentuk. Sayangnya, waktu tetap saja terselubung. Ia bersembunyi didalam lapisan terdalam semua hal. Terkadang ia menerkam dengan cepat, namun kadangkala ia hanya terseret perlahan mengikuti, bahkan mencoba menahan kita. Lagi-lagi manusia mencoba mengikatnya, relativitas kata manusia. Kau kencan dengan kekasih tercintamu maka ia akan mendorongmu dengan keras. akan tetapi jika kau menunggu orang yang kau benci maka ia akan menahanmu untuk melangkah kea rah tujuan dengan sekuat tenaga. Itulah ia, waktu, tetap saja terus berjalan, tak peduli.

Segala keabsurdan sang waktu makin menjerumuskan juga melambungkan segala keinginan sampai aksi setiap hal. Mulai dari khayalanmu sampai tingkah polahmu. Ia seringkali banal bersembunyi dibalik ketidaktahuan pikiran, sesekali ia muncul di permukaan sebagai patokan dari kejadian alam semesta. Jagad raya rupanya tahu, bahwa waktu begitu licin lebih dari belut sekalipun. Ia turut bersembunyi, berbaring dengan waktu dari awal mula walaupun jelas ia tak ada bandingannya dengan waktu.

Chairil pernah menulis ‘Aku tak tahu apa nasib waktu’. Rupanya mungkin ia sadar bahwa ia terikat, tercencang, terpasung pada hal yang tak mungkin ia pahami secara utuh, waktu. Laiknya ketika kita mencoba menghitungnya lalu terucap, “tak terasa.” Kitapun tiba-tiba merasa tua, sadar bahwa banyak hal yang ternyata belum dilakukan. Tapi waktu tetap tak terasa, tubuh kita sendirilah yang kita rasa, dan sang waktu tetap bersembunyi, absurd.

Waktu tetap saja berjalan, seperti setiap partikel electron yang terus berputar mengelilingi neutron, tanpa henti. Hingga akhirnya bibir kita sendiri yang kelu tak sempat berucap, “Tak ada lagi waktu untuk diriku.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar