Perkerjaan dan
profesi. Dua kata yang sering menjadi acuan kita dalam memilih jenjang
pendidikan maupun jurusan yang kita ambil. Saat ini, memang mungkin kita telah
mengalami pergeseran tujuan pendidikan secara nyata. Jika jaman dahulu
pendidikan dimaksudkan secara sempit untuk mengubah pandangan seseorang dari
hal-hal mistik menjadi empiris, maka saat ini berubah, untuk mendapatkan
perkerjaan secara riil.
Saya secara
tidak langsung menjadi teringat jaman politik etis Van Der Venter (semoga benar
menulisnya), juga jaman Kartini, Dewi Sartika, Boedi Oetomo, dsb. Saat itu,
pendidikan diadakan sebagai sebuah
pengubahan kesadaran akan ilmu pengetahuan,
agar bisa membaca, setidaknya satu tingkat lebih tinggi dari buta huruf latin
tentunya. Jika dikatakan sebelum itu rakyat kita buta huruf, maka saya agak
sangsi. Setahu saya, aksara jawa, huruf arab yang tertuang di Al Qur’an, banyak
dari kakek buyut saya yang fasih membacanya walaupun tak bisa membaca huruf
latin. Apakah mereka buta huruf? Tentu tidak. Sayangnya mereka tak belajar
huruf latin karena tak masuk sekolah.
Kembali ke
awal, tujuan pendidikan saat itu adalah agar tahu dunia barat, pengetahuan
barat, tata cara barat berpikir (metode ilmiah katanya) sehingga dianggap
mencerdaskan bangsa. Memang benar itu mencerdaskan karena ketika mereka bisa
membaca huruf latin, kebanyakan dari mereka juga menjadi pandai secara linguistic.
Bahasa Belanda mereka kuasai dan mungkin bahasa Inggris pula. Buku-buku yang
ada mereka lahap. Kepandaian pemikiran pun menjalar kemana-mana sebagai sebuah
pergerakan budaya baru dalam konteks peradaban.
Pendidikan setelah
masa itu mengalami modifikasi. Peran pasar yang besar, masuknya investor
sehingga terjadi industrialisasi besar-besaran di berbagai sektor, membuat
pendidikan menjadi sebuah mesin cetak. Ya, sebuah mesin cetak, dimana mesin
tersebut mencetak manusia-manusia yang siap berkerja, siap untuk menjadi
pengendali mesin-mesin industri juga pasar. Tentu saja, sebagai pemutar
keuangan Negara,keluarga, dan pribadi pula. Itulah pendidikan.
Bukan sebuah
kesalahan memang konsep tersebut dibangun, namun di beberapa sisi yang terjadi
adalah kompetisi untuk mendapatkan nilai yang terbaik bukan mendapatkan ilmu
yang sebanyak-banyaknya atau keahlian. Beragam cara bisa dilakukan, mulai dari
mendekati pengajar, mencontek, sampai menghapal persis apa yang dikatakan di
buku. Konsepsi pemikiran menjadi sebuah pita rekaman yang hanya memutar apa
yang ada di pikiran. Mungkin tak semua sektor atau jurusan pendidikan seperti
ini, tapi di beberapa kelas yang saya ambil sampai saat ini, beginilah adanya. Banyak
sekali pendapat dosen dan anak-anak yang tak dapat saya mengerti.
Beberapa dosen
dan anak-anak berbahagia, pasalnya profesi psikolog kini dianggap setara dengan
dokter. Ditempatkan di beberapa rumah sakit, mempunyai ijin praktek, dan diakui
sebagai profesi resmi. Sebuah kemajuan memang, tapi bukankah tak perlu euphoria
berlebihan? Saya kira dokter itu sama besarnya dengan profesi lain, setara. Katakan
saja petani, mereka juga sebuah profesi yang agung, menahan lapar dan panas
untuk membajak sawah, menanam, merawat, sampai akhirnya panen dan gabah mereka
dibeli dengan harga murah. Tetap melarat intinya, betapa mulianya bukan? Bagaimana
dengan dokter? Mulia pula selama menolong dengan tulus dan memberikan obat
semestinya bukan karena ada kerjasama dengan pabrik farmasi. Mulia, benar-benar
mulia. Psikolog? Sama saja, tetap mulia.
Profesi,
banyak yang lebih menganggap profesi itu lebih tinggi dari perkerjaan. Apa bedanya?
Gengsinya? Entahlah, saya juga tak begitu mengerti. Saya hanya tahu berbedanya
konsep-konsep tiap orang akan profesi. Tapi bagi saya perkerjaan dan profesi
itu sama saja. Setara. Hanya jenisnya saja yang berbeda, seterusnya selama itu
jujur, tulus, adil, dan makmur ya setara.
Mulai bingungkah?
Maka nikmati saja ini tulisan. Profesi saya yang belum jelas juga setara dengan
yang lain. Selain itu, tulisan yang dibuat dalam kondisi bad mood ini juga setara sebagai benda tulisan hanya berbeda di
jenisnya, tulisan buruk atau bagus? Tentu tak jauh dari jelek. Semua tahu itu. Setara.
Nah kamu sendiri sudah ada tujuan mau ambil profesi apa belum? Iya sih semua profesi mulai. Saran aja, tulisan fi blogmu terlalu kecil, mungkin ukuran font nya bisa diperbesar.
BalasHapusmakasih masukannya :)
BalasHapusprofesi? sepertinya tidak hehehehe saya tak terlalu percaya dengan profesi ini, ilmu psikologi masih sangat luas, rugi bagi saya jika dipersempit menjadi profesi :)
lha mbak sendiri?:)