Senin, Maret 26, 2012

Mau Kemana ????


Perkerjaan dan profesi. Dua kata yang sering menjadi acuan kita dalam memilih jenjang pendidikan maupun jurusan yang kita ambil. Saat ini, memang mungkin kita telah mengalami pergeseran tujuan pendidikan secara nyata. Jika jaman dahulu pendidikan dimaksudkan secara sempit untuk mengubah pandangan seseorang dari hal-hal mistik menjadi empiris, maka saat ini berubah, untuk mendapatkan perkerjaan secara riil.
Saya secara tidak langsung menjadi teringat jaman politik etis Van Der Venter (semoga benar menulisnya), juga jaman Kartini, Dewi Sartika, Boedi Oetomo, dsb. Saat itu, pendidikan diadakan sebagai sebuah
pengubahan kesadaran akan ilmu pengetahuan, agar bisa membaca, setidaknya satu tingkat lebih tinggi dari buta huruf latin tentunya. Jika dikatakan sebelum itu rakyat kita buta huruf, maka saya agak sangsi. Setahu saya, aksara jawa, huruf arab yang tertuang di Al Qur’an, banyak dari kakek buyut saya yang fasih membacanya walaupun tak bisa membaca huruf latin. Apakah mereka buta huruf? Tentu tidak. Sayangnya mereka tak belajar huruf latin karena tak masuk sekolah.
Kembali ke awal, tujuan pendidikan saat itu adalah agar tahu dunia barat, pengetahuan barat, tata cara barat berpikir (metode ilmiah katanya) sehingga dianggap mencerdaskan bangsa. Memang benar itu mencerdaskan karena ketika mereka bisa membaca huruf latin, kebanyakan dari mereka juga menjadi pandai secara linguistic. Bahasa Belanda mereka kuasai dan mungkin bahasa Inggris pula. Buku-buku yang ada mereka lahap. Kepandaian pemikiran pun menjalar kemana-mana sebagai sebuah pergerakan budaya baru dalam konteks peradaban.
Pendidikan setelah masa itu mengalami modifikasi. Peran pasar yang besar, masuknya investor sehingga terjadi industrialisasi besar-besaran di berbagai sektor, membuat pendidikan menjadi sebuah mesin cetak. Ya, sebuah mesin cetak, dimana mesin tersebut mencetak manusia-manusia yang siap berkerja, siap untuk menjadi pengendali mesin-mesin industri juga pasar. Tentu saja, sebagai pemutar keuangan Negara,keluarga, dan pribadi pula. Itulah pendidikan.
Bukan sebuah kesalahan memang konsep tersebut dibangun, namun di beberapa sisi yang terjadi adalah kompetisi untuk mendapatkan nilai yang terbaik bukan mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya atau keahlian. Beragam cara bisa dilakukan, mulai dari mendekati pengajar, mencontek, sampai menghapal persis apa yang dikatakan di buku. Konsepsi pemikiran menjadi sebuah pita rekaman yang hanya memutar apa yang ada di pikiran. Mungkin tak semua sektor atau jurusan pendidikan seperti ini, tapi di beberapa kelas yang saya ambil sampai saat ini, beginilah adanya. Banyak sekali pendapat dosen dan anak-anak yang tak dapat saya mengerti.
Beberapa dosen dan anak-anak berbahagia, pasalnya profesi psikolog kini dianggap setara dengan dokter. Ditempatkan di beberapa rumah sakit, mempunyai ijin praktek, dan diakui sebagai profesi resmi. Sebuah kemajuan memang, tapi bukankah tak perlu euphoria berlebihan? Saya kira dokter itu sama besarnya dengan profesi lain, setara. Katakan saja petani, mereka juga sebuah profesi yang agung, menahan lapar dan panas untuk membajak sawah, menanam, merawat, sampai akhirnya panen dan gabah mereka dibeli dengan harga murah. Tetap melarat intinya, betapa mulianya bukan? Bagaimana dengan dokter? Mulia pula selama menolong dengan tulus dan memberikan obat semestinya bukan karena ada kerjasama dengan pabrik farmasi. Mulia, benar-benar mulia. Psikolog? Sama saja, tetap mulia.
Profesi, banyak yang lebih menganggap profesi itu lebih tinggi dari perkerjaan. Apa bedanya? Gengsinya? Entahlah, saya juga tak begitu mengerti. Saya hanya tahu berbedanya konsep-konsep tiap orang akan profesi. Tapi bagi saya perkerjaan dan profesi itu sama saja. Setara. Hanya jenisnya saja yang berbeda, seterusnya selama itu jujur, tulus, adil, dan makmur ya setara.
Mulai bingungkah? Maka nikmati saja ini tulisan. Profesi saya yang belum jelas juga setara dengan yang lain. Selain itu, tulisan yang dibuat dalam kondisi bad mood ini juga setara sebagai benda tulisan hanya berbeda di jenisnya, tulisan buruk atau bagus? Tentu tak jauh dari jelek. Semua tahu itu. Setara.

2 komentar:

  1. Nah kamu sendiri sudah ada tujuan mau ambil profesi apa belum? Iya sih semua profesi mulai. Saran aja, tulisan fi blogmu terlalu kecil, mungkin ukuran font nya bisa diperbesar.

    BalasHapus
  2. makasih masukannya :)
    profesi? sepertinya tidak hehehehe saya tak terlalu percaya dengan profesi ini, ilmu psikologi masih sangat luas, rugi bagi saya jika dipersempit menjadi profesi :)
    lha mbak sendiri?:)

    BalasHapus