MENULIS = BOKER
Buku, tulisan,
dan pendidikan. Tentu tak dapat kita pisahkan. Bahkan bila kita melihat lebih
jauh, lebih luas, maju tidaknya suatu kebudayaan pun diukur dan ditunjang oleh
minimal ketiga hal tersebut. Sebut saja masa sejarah, masa dimana manusia mulai
mengenal tulisan menurut buku diktat zaman SMP, ditandai dengan aksara yang
dikumpul dan menjadi sebuah tulisan. Indonesia sendiri masuk masa sejarah pada
abad keempat, ditandai dengan ditemukannya prasasti kerajaan Kutai.
Tulisan, saya
rasa semua yang bersekolah, mayoritas akan bisa menulis (bukan sekolah PAUD
tentunya). Namun, bagaimana isi tulisan tersebut, bermaknakah, berisikah,
berilmukah, atau hanya coretan huruf-huruf tak bermakna? (walau dalam
psikologi, setiap goresan itu mempunyai makna tersendiri hehehe). Inilah yang
menjadi soal. Tak semua tulisan enak dibaca. Tak semua kata-kata mudah
dipahami. Tentu pula tak semua kalimat itu bermakna.
Banyak diantara
kita yang menganggap menulis itu soal gampang. Mungkin saja mereka kurang
sering membaca tulisan yang bagus sehingga menganggap tulisan itu soal kecil. Akan
tetapi, banyak pula yang menganggap tulisan itu masalah besar. Lihat saja
tugas-tugas sekolah ataupun karangan dalam ujian, sedikit sekali saya rasa yang
mau membuat sesuatu yang baru dan tak meniru. Persoalannya bukan lagi bagaimana
cara menggoreskan tiap kata melainkan bagaimana membuat tulisan tersebut
berisi, penuh, mengabarkan, ataupun mencerahkan.
Sedikit mengutip
lagu dari efek rumah kaca, jangan bakar buku, salah satu liriknya berbunyi ‘…. Karena
di setiap lembarnya, tersimpan jendela dunia…’ ya, buku adalah sebuah jendela
dunia, dimana kita mampu berbagi segala dengan semua tanpa harus ada tatap muka
bahkan suara, yang diperlukan hanya kemampuan kognitif, untuk berimajinasi,
untuk memahami, sampai dengan mempercayai.
Lalu kembali
pada pokok pikiran yang saya tuangkan di atas. Bagaimana tulisan mampu berisi? Sejak
dulu saya mencari jawaban. Ada yang bilang tergantung inspirasi. Ada pula yang
bilang asalkan sebuah tulisan itu puitis. Bahkan beberapa orang mengajari saya
jikalau tulisan itu akan berisi bila latar belakang dalam maksud tujuan menulis
itu jelas. kesimpulan yang saya dapatkan pun hanya satu kata, bingung. Bagaimana
tidak, seorang sahabat SMA mendapat tugas mengarang, tulisannya rapi, tapi
isinya ya seperti ini, tak begitu jelas. Bila dilihat dari kategori pertama,
inspirasi, mungkin saja sahabat saya itu mendapatkan inspirasi ketika sedang
mencuci baju, akan tetapi tulisannya bukan tentang mencuci baju. Tulisannya tentang
seorang pembuat genteng. Tapi tak jelas bagaimana tata cara pembuatan genteng
itu. Baguskah ini tulisan?
Soal kriteria
yang kedua, puitis, ia puitis dalam karangan tersebut. Genteng ia
personifikasikan dengan rambut, sebagai pelindung kepala dari panas. Tanah liat
sebagai bahan baku ia ungkapkan dengan menggebu-gebu sebab ia berpikiran
jikalai tanah lihat adalah sama seperti zat-zat yang membangun tubuh kita. Nah,
apakah tulisan itu juga termasuk bagus?
Yang ketiga,
latar belakang yang jelas. jelas sekali ia menulis karena ada tugas dari guru. Hanya
itu, murni hanya itu, tak perlu konsep INUS David Hume untuk mengetahui bahwa
sebab dari motivasinya membuat tulisan itu adalah tugas dari guru. Maka,
baguskah tulisan itu?
Tak jelas
memang, bagaimana membantuk sebuah tulisan yang bagus. Kita tak pernah tahu
bagaimana seorang Plato membuat tulisan-tulisannya, atau seorang Mpu Prapanca
membuat kitabnya. Kita tak pernah tahu. Namun, sebuah diklat singkat dari
seorang kawan yang juga senior saya, Rifki Ape, berkata jikalau menulis itu
ibarat boker. Ya benar. Boker atau ee atau buang hajat atau buang air besar
(bukan berarti mencret!). saya pun mulai mengerti. Tulisan akan semakin
bermakna ketika si penulis (sengaja saya memakai si bukan sang karena semua
manusia itu sama) merasakan apa yang ada di sekelilingnya, apa yang ia alami. Entah
itu bacaan, pengalaman, sampai dengan imajinasinya. Mungkin sedikit empiris,
dimana pengalaman yang berarti a post
theory harus terjadi terlebih dahulu. Namun bila dikaji secara kognitif,
maka imajinasi pun sebenarnya terpengaruh atau mungkin terbentuk barangkali
(menganut psikoanalisanya eyang Freud) dari pengalaman. Maka dari itu, semakin
banyak pengalaman si penulis rasakan maka akan semakin besar kemungkinan
tulisan tersebut bermakna.
Akan tetapi
lagi-lagi tulisan itu bukan hanya diukur dari makna. Ada banyak sisi dalam
tulisan, mulai tata bahasa sampai dengan maksud tujuan tulisan. Namun, akan
banyak sekali huruf yang harus saya ketik untuk mencoba berargumen tentang itu.
Bukan berarti saya membahas makna lalu saya malas membahas yang lain, bukan. Tapi
menulis itu ibarat boker. Ketika makan sayur, makan feses (baca ampas
hasilproses pencernaan atau sering disebut dengan t a * ) akan sedikit masih
berbentuk dan ketika makan daging maka akan hancur itu bentuk feses. Nah,
karena itu saya memilih untuk menahan boker saya sampai disini. Tak begitu
nyaman rasanya malam-malam begini boker terlalu banyak dimana letih tubuh telah
betumpuk dikepala (otak). Jadi saya hentikan boker saya dan beginilah ini
tulisan. Sekali lagi, menulis itu = b o k e r.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar