Selasa, Maret 13, 2012

BOKER


MENULIS = BOKER

Buku, tulisan, dan pendidikan. Tentu tak dapat kita pisahkan. Bahkan bila kita melihat lebih jauh, lebih luas, maju tidaknya suatu kebudayaan pun diukur dan ditunjang oleh minimal ketiga hal tersebut. Sebut saja masa sejarah, masa dimana manusia mulai mengenal tulisan menurut buku diktat zaman SMP, ditandai dengan aksara yang dikumpul dan menjadi sebuah tulisan. Indonesia sendiri masuk masa sejarah pada abad keempat, ditandai dengan ditemukannya prasasti kerajaan Kutai.
Tulisan, saya rasa semua yang bersekolah, mayoritas akan bisa menulis (bukan sekolah PAUD tentunya). Namun, bagaimana isi tulisan tersebut, bermaknakah, berisikah, berilmukah, atau hanya coretan huruf-huruf tak bermakna? (walau dalam psikologi, setiap goresan itu mempunyai makna tersendiri hehehe). Inilah yang menjadi soal. Tak semua tulisan enak dibaca. Tak semua kata-kata mudah dipahami. Tentu pula tak semua kalimat itu bermakna.
Banyak diantara kita yang menganggap menulis itu soal gampang. Mungkin saja mereka kurang sering membaca tulisan yang bagus sehingga menganggap tulisan itu soal kecil. Akan tetapi, banyak pula yang menganggap tulisan itu masalah besar. Lihat saja tugas-tugas sekolah ataupun karangan dalam ujian, sedikit sekali saya rasa yang mau membuat sesuatu yang baru dan tak meniru. Persoalannya bukan lagi bagaimana cara menggoreskan tiap kata melainkan bagaimana membuat tulisan tersebut berisi, penuh, mengabarkan, ataupun mencerahkan.
Sedikit mengutip lagu dari efek rumah kaca, jangan bakar buku, salah satu liriknya berbunyi ‘…. Karena di setiap lembarnya, tersimpan jendela dunia…’ ya, buku adalah sebuah jendela dunia, dimana kita mampu berbagi segala dengan semua tanpa harus ada tatap muka bahkan suara, yang diperlukan hanya kemampuan kognitif, untuk berimajinasi, untuk memahami, sampai dengan mempercayai.
Lalu kembali pada pokok pikiran yang saya tuangkan di atas. Bagaimana tulisan mampu berisi? Sejak dulu saya mencari jawaban. Ada yang bilang tergantung inspirasi. Ada pula yang bilang asalkan sebuah tulisan itu puitis. Bahkan beberapa orang mengajari saya jikalau tulisan itu akan berisi bila latar belakang dalam maksud tujuan menulis itu jelas. kesimpulan yang saya dapatkan pun hanya satu kata, bingung. Bagaimana tidak, seorang sahabat SMA mendapat tugas mengarang, tulisannya rapi, tapi isinya ya seperti ini, tak begitu jelas. Bila dilihat dari kategori pertama, inspirasi, mungkin saja sahabat saya itu mendapatkan inspirasi ketika sedang mencuci baju, akan tetapi tulisannya bukan tentang mencuci baju. Tulisannya tentang seorang pembuat genteng. Tapi tak jelas bagaimana tata cara pembuatan genteng itu. Baguskah ini tulisan?
Soal kriteria yang kedua, puitis, ia puitis dalam karangan tersebut. Genteng ia personifikasikan dengan rambut, sebagai pelindung kepala dari panas. Tanah liat sebagai bahan baku ia ungkapkan dengan menggebu-gebu sebab ia berpikiran jikalai tanah lihat adalah sama seperti zat-zat yang membangun tubuh kita. Nah, apakah tulisan itu juga termasuk bagus?
Yang ketiga, latar belakang yang jelas. jelas sekali ia menulis karena ada tugas dari guru. Hanya itu, murni hanya itu, tak perlu konsep INUS David Hume untuk mengetahui bahwa sebab dari motivasinya membuat tulisan itu adalah tugas dari guru. Maka, baguskah tulisan itu?
Tak jelas memang, bagaimana membantuk sebuah tulisan yang bagus. Kita tak pernah tahu bagaimana seorang Plato membuat tulisan-tulisannya, atau seorang Mpu Prapanca membuat kitabnya. Kita tak pernah tahu. Namun, sebuah diklat singkat dari seorang kawan yang juga senior saya, Rifki Ape, berkata jikalau menulis itu ibarat boker. Ya benar. Boker atau ee atau buang hajat atau buang air besar (bukan berarti mencret!). saya pun mulai mengerti. Tulisan akan semakin bermakna ketika si penulis (sengaja saya memakai si bukan sang karena semua manusia itu sama) merasakan apa yang ada di sekelilingnya, apa yang ia alami. Entah itu bacaan, pengalaman, sampai dengan imajinasinya. Mungkin sedikit empiris, dimana pengalaman yang berarti a post theory harus terjadi terlebih dahulu. Namun bila dikaji secara kognitif, maka imajinasi pun sebenarnya terpengaruh atau mungkin terbentuk barangkali (menganut psikoanalisanya eyang Freud) dari pengalaman. Maka dari itu, semakin banyak pengalaman si penulis rasakan maka akan semakin besar kemungkinan tulisan tersebut bermakna.
Akan tetapi lagi-lagi tulisan itu bukan hanya diukur dari makna. Ada banyak sisi dalam tulisan, mulai tata bahasa sampai dengan maksud tujuan tulisan. Namun, akan banyak sekali huruf yang harus saya ketik untuk mencoba berargumen tentang itu. Bukan berarti saya membahas makna lalu saya malas membahas yang lain, bukan. Tapi menulis itu ibarat boker. Ketika makan sayur, makan feses (baca ampas hasilproses pencernaan atau sering disebut dengan t a * ) akan sedikit masih berbentuk dan ketika makan daging maka akan hancur itu bentuk feses. Nah, karena itu saya memilih untuk menahan boker saya sampai disini. Tak begitu nyaman rasanya malam-malam begini boker terlalu banyak dimana letih tubuh telah betumpuk dikepala (otak). Jadi saya hentikan boker saya dan beginilah ini tulisan. Sekali lagi, menulis itu = b o k e r.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar