Hidup adalah tentang
mengklasifikasikan sesuatu. Tak dapat dipungkiri, manusia sebagai pemeran utama
dalam kehidupan, selalu mencoba untuk mengelompokkan segala hal dalam
bentuk-bentuk yang lebih mudah dicerna. Mulai dari benda, status sosial, status
ekonomi, bahkan sampai kualitas kehidupan itu sendiri, selalu dipilah-pilah
menjadi beragam kelompok oleh manusia. Berbagai macam metode dan faktor diramu
untuk mengelompokkannya. Apa yang menjadi pembanding? Pembatas? Tiap hal tentu
memiliki hakikatnya sendiri. Ini pula yang terjadi dalam pembentukan strata
kelas ekonomi dalam masyarakat.
Manusia mengelompokkan
status ekonomi seseorang sebagai salah satu cara untuk menegaskan bagaimana
pula status sosial yang didapatnya. Akan tetapi, tentu saja pembahasan ini
hanya akan disudutkan pada status ekonomi saja, mengingat terbatasnya kemampuan
serta waktu yang tersedia.
Kelas
Menengah
Beberapa waktu yang
lalu, ramai diberitakan di berbagai media massa, termasuk televisi dan media cetak,
tentang pertumbuhan juga perilaku kelas menengah Indonesia. Tak kurang mulai
dari Metro TVdan TV One sebagai rujukan berita nasional dalam televisi,
menyoroti akan hal ini. Begitu pula dua media cetak terkenal, Kompas, koran
dengan oplah terbesar di Indonesia, beserta Majalah Tempo, rebut mempersoalkan
tentang perubahan sosial dari sudut pandang ekonomi dalam kelas ini.
Klasifikasi ekonomi
masyarakat dari sektor ekonomi sendiri sebenarnya masih terjadi berbagai macam
pertentangan. Faktor apa yang patut dijadikan patokan sebagai standar
klasifikasi, ataupun perdebatan berapa patokan yang pas. Terlepas dari semua
perdebatan tersebut, Karl Marx membagi masyarakat menjadi dua kelas secara
eksplisit, kaum borjuis dan proletar. Borjuis adalah mereka para orang kaya
yang menguasai sektor-sektor ekonomi terutama modal dan alat-alat prodeksi,
serta proletar yaitu para buruh rendahan yang terus mengais rezeki dari para
kuasa borjuis. Kedua kelas ini menurut Marx akan selalu terjadi pertentangan. Hal
itu tertuang dalam kalimat pembukaan Manifesto Komunis yang termasyur itu:
“sejarah
semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah pertentangan kelas.”[1]
Namun, pengertian kelas
dalam Marx sendiri masih belum jelas terukur, memang Lenin menuturkan bahwa
kelas itu merupakan tatanan posisi masyarakat dalam proses produksi. Akan
tetapi, bila dilihat secara tegas maka menjadi rancu karena anggapan bahwa
mereka yang berada di pucuk atas proses produksi tidak selalu berada di atas pula
dalam ukuran kesejahteraan maupun kebahagiaannya. Lalu bagaimana pula dengan
para professional yang tentu berada di antara kaum buruh dan kelas atas di
pucuk proses produksi?
Franz Magnis-Suseno
mencoba memaparkan pandangan Marx akan kelas tersebut, menurutnya kelas dalam
pandangan Marx tersebut lebih mengacu pada pengelompokkan suatu tatanan
masyarakat pascafeodal, sedangkan yang kuno lebih disebut ‘kasta'[2].
Selain dari Marx,
stratifikasi sosial juga dicetuskan oleh Max Webber, akan tetapi tak hanya
berdasarkan faktor proses produksi melainkan juga pada ekonomi dan prestise.
Teori Webber ini terkenal disebut sebagai teori tindakan sosial. Teori Webber
inilah yang menjelaskan lebih terperinci. Sebuah kedudukan seseorang tak melulu
tinggi karena ia menjadi bos sebuah perusahaan dengan banyak karyawan, bila
pendidikannya rendah, belum tentu ia akan menjadi kelas atas.
Selanjutnya memang
banyak yang mulai mencoba mendefinisikan kelas strata masyarakat ini. Tak dapat
dipungkiri pula bahwa keberadaan tiap strata menjadi salah satu komponen
perhitungan dalam merumuskan konsep ekonomi yang dipakai Negara untuk
menentukan kebijakan.
Bank Dunia, memiliki
konsep tersendiri dalam menentukan kelas menengah tersebut. Kelas menengah
versi Bank Dunia adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per harinya
US$ 2-20. Di Indonesia sendiri menurut perkiraan organisasi tersebut terdapat
sekitar 130juta orang yang termasuk dalam golongan kelas menengah atau sekitar
56,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia[3].
Kelas menengah ini terang saja tersebar di berbagai wilayah. Akan tetapi,
jumlah terbesar berada di kota, dimana para profesional yang memiliki keahlian tersendiri tinggal. Karena hal
itulah, dalam hal ini kelas menengah lebih sering diartikan sebagai kelas
konsumen baru[4],
dimana transaksi yang ada sangatlah bergantung pada keadaan ekonomi Negara dan
cenderung rapuh.
Kelas menengah di
Indonesia tak serta merta ada begitu saja. Perkembangan kelas menengah ini
dimulai dari zaman kolonial terutama ketika politik etis mulai diadakan oleh
penjajah. Saat itu, para priyayi rendahan ataupun para tuan tanah serta
pedagang yang memiliki harta sedikit berlebih dari yang lainnya mensekolahkan
anak-anak mereka dengan harapan agar anaknya menjadi pegawai pemerintahan
sehingga terdapat nilai prestise yang lebih tinggi. Seperti yang diceritakan
Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi pulau buru, Rumah Kaca, dijelaskan bahwa
pergeseran tata-susun sosial di jawa tak serta merta terjadi begitu saja.
“kaum ningrat
tinggi yang mendasarkan kedudukannya pada jabatan-jabatan tinggi negeri,
mendapatkan kedudukannya hanya karena kebangsawanannya, kini mulai ditinggalkan
mentah-mentah oleh angkatan muda dari golongan bangsawan rendahan, yang
menghendaki jabatan apa saja dan dengan demikian kita mau belajar apa saja asal
dapat jabatan negeri. Mereka memasuki sekolah-sekolah vak yang disiriki oleh angkatan
muda ningrat tinggi.”[5]
Keadaan tersebut terus
menerus terjadi hingga saat ini. Akan tetapi sedikit kembali menilik ke
belakang, politik orde baru yang menerapkan sistem ekonomi lokomotif, yaitu
sebuah sistem ekonomi yang mendorong para warga kelas atas untuk memperbesar
usahanya agar semakin banyak menyerap tenaga kerja, mengakibatkan makin
meningkatnya kelas menengah di Indonesia. Peningkatan tersebut terus menerus
terjadi sampai pembengkakan jumlah kelas menengah pada saat ini.
Kelas menengah ini sendiri
menurut beberapa tokoh sangatlah rapuh dalam hal finansial. Seperti yang
diungkapkan Pram di atas, masyarakat kelas ini cenderung menunggu untuk menjadi
pegawai. Alih-alih membuat lapangan pekerjaan baru, masyarakat kelas ini
menggantungkan asanya pada pemerintah.
Ketergantungan ini
terlihat pula dari pola konsumsinya. Masyarakat kelas menengah tentu sebagian
besar memiliki kelebihan uang yang masih bebas. Akhirnya pun uang tersebut
dialirkan sebagai salah satu konsep konsumsi yang baru. Akibatnya, perekonomian
negara pun lebih besar pada sektor hiburan dan jasa. Namun, daya beli yang
tinggi ini menurut Yuswohadi tak serta membuat mereka konsumtif dan boros. Hal
ini dikarenakan perilaku pembelian seperti ini terjadi jika kebutuhan dasar
mereka telah terpenuhi.
Pendidikan
dan Idealisme
Pendidikan kelas ini
pun cenderung berada di tengah-tengah jenjang yang tersedia. Perguruan tinggi
mereka serbu. Kebanyakan dari masyarakat kelas ini akan mengambil perguruan
Tinggi dalam negeri. Mengingat mahalnya biaya kuliah sekarang, tentu saja kelas
ini pula yang mendominasi mahasiswa maupun mahasiswi pada setiap
universitas-universitas. Namun, laiknya seperti yang dikemukakan oleh Pram,
mahasiswa dari kelas ini cenderung cari aman untuk mempertahankan kenyamanan
kelasnya. Mereka tak bergerak secara progresif dalam pergerakan mahasiswa.
Jika terdapat anggapan
bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual yang independen, idealis, terbebas dari
segala godaan untuk berjuang secara tulus, bisa jadi anggapan tersebut telah
hilang entah kemana. Mahasiswa yang dulunya adalah kaum kritis penggerak
perjuangan intelektual, kini sedikit beralih menjadi penggali materi. Jika
diibaratkan Harimau, maka auman Harimau yang dulu keras terdengar sekarang
seperti dikurung dalam sangkar oportunisme.
Memang, bila dilihat
satu per satu tentu tiap mahasiswa akan berbeda, tetapi jika ditarik garis
besar secara mayoritas maka akan kita temui bahwa mahasiswa yang masih
beridealis tinggi dan terus bergerak secara tulus akan sangat sedikit rupanya.
Eksistensi kelas
menengah yang mendominasi pendidikan ini rupa-rupanya juga berawal dari zaman kolonial.
Saat itu, ketika penjajah mengumandangkan politik etis, para bangsawan rendahan
berbondong-bondong masuk STOVIA, Sekolah Tinggi Hukum, Sekolah Tinggi
Perdagangan, dsb. Mereka berharap agar nantinya dapat diangkat menjadi pegawai
pemerintahan sehinga tentu saja lebih mengamankan posisi mereka dalam
kenyamanan. Dari kejadian itu, beberapa pentolan mereka macam dr. Soetomo,
Tjipto Mangunkusumo, mendirikan sekolah-sekolah baru untuk rakyat yang berada
di luar kebangsawanan. Disana, mereka diajarkan untuk menulis, berhitung,
berbahasa belanda pula. Harapannya orang tua yang menyekolahkan anaknya di
sekolah tersebut sama, yaitu agar sang anak mampu menjadi pegawai pemerintahan,
bukan lagi sekadar petani ataupun tuan tanah juga saudagar biasa. Hanya
beberapa pentolan mereka dari mereka saja yang secara sadar akhirnya
memperjuangkan kemerdekaan dengan keras[6].
Ini terus berkembang
sampai zaman setelah merdeka. Sekolah tinggi menjadi santapan wajib bagi kaum
kelas ini. Mereka berharap agar universitas-universitas tersebut dapat mengantarkan
mereka layaknya ekskalator menuju titik yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Keilmuan pun digenjot sesuai dengan sistem pasar. Apa yang lapangan pekerjaan
butuhkan maka itu yang akan diajarkan di Universitas. Konsep ini dikuatkan pula
oleh keadaan negara yang dibuat dengan konsep ekonomi lokomotif zaman orde
baru. Mereka yang mempunyai uang berlebih tentu lebih mempunyai kuasa dari yang
lebih sedikit. Akibatnya pemahaman pencarian materi ini memperlemah idealisme
mereka ketika sudah lulus dan benar-benar terjun ke masyarakat. Lulusan
universitas dari kelas ini ketika menempati posisi-posisi strategis di
pemerintahan tak lagi kebal terhadap kebusukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Materi menjadi tujuan utama. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena mereka berada
pada posisi yang tanggung, kaya tidak namun miskin pun takut.
Kelompok mahasiswa
kelas ini akan bergerak jika eksistensinya mulai terancam. Sejarah mencatat
pada tahun 1966, ketika ribuan mahasiswa turun ke jalan menuntut pembubaran
PKI, terjadi pula inflasi besar di negara ini mencapai 600 persen. Hal tersebut
terang saja juga mencekik mereka yang tadinya santai saja, tenang, dan nyaman
dalam menghadapi perkuliahan sehingga ikut turun ke jalan[7].
Sejarah tersebut
berulang ketika tahun 1998. Ratusan ribu mahasiswa yang akhirnya berani turun
untuk menentang rezim otoriter orde baru juga setelah terjadi krisis ekonomi
dunia. Terjadi inflasi besar saat itu pula nilai rupiah yang jatuh di pasaran.
Akan tetapi bagaimana
pula dengan pergerakan mahasiswa selain kedua momen di atas. Rupa-rupanya
mahasiswa terus saja bergerak akan tetapi dengan jumlah massa yang jauh lebih
sedikit. Kita tentu mengingat bagaimana mahasiswa yang tergabung dalam Partai
Rakyat Demokratik memperjuangkan hak masyarakat yang tanahnya tergusur oleh
proyek waduk kedung ombo. Akan tetapi jumlah mereka sangatlah sedikit. Layaknya
zaman kolonial, mereka yang bergerak hanyalah para pentolan-pentolan mahasiswa.
Mayoritas mahasiswa lainnya tetap tenang dan giat belajar di kampus-kampus
mereka. Barangkali hanya peristiwa lima belas Januari (MALARI) yang mampu
menggerakkan masa dalam jumlah besar. Namun bila dikaji lebih mendalam,
peristiwa pembakaran perusahaan-perusahaan dari Jepang tersebut juga
dikarenakan eksistensi mahasiswa kelas ini yang juga mulai terancam. Sektor
swasta asing yang baru muncul saat itu dengan cepat berkembang dan menggurita.
Kontan saja kelas ini merasa tersaingi sehingga mereka ikut bergerak dan secara
sadar berjuang.
Berbeda pula dengan
zaman reformasi saat ini. Mahasiswa kelas ini tetap merajai porsi-porsi kuliah
di berbagai kampus. Lebih-labih lagi dengan biaya kuliah yang bisa dibilang
cukup mahal. Akibatnya seperti saat ini, pergerakan maupun kekritisan mahasiswa
menjadi layu. Berbagai macam organisasi kemahasiswaan pasca orde baru tumbang
mengalami sebuah disorientasi gerakan juga degradasi idealisme.
Organisasi-organisasi ini seperti hanya mempertahankan eksistensinya sehingga
cenderung sporadis dan kurang mengakar. Pergerakan pun menjadi sepi. Kebanyakan
akhirnya fokus pada studinya masing-masing, cenderung apatis terhadap
lingkungan sosial di sekitar yang kiranya masih banyak sekali ketimpangan.
Merlyna Lim, seorang
peneliti yang juga profesor dari Universitas Arizona menyebutkan bahwa kelas
ini di zaman sekarang lebih menggunakan media sosial melulu untuk mengeluhkan,
mengkritik, mencela kebobrokan yang ada. Mereka cenderung lebih suka menulis status
di facebook ataupu twitter dibandingkan bersatu untuk
sebuah upaya perubahan sosial. Merlyna sendiri menyebutnya sebagai click activism, sebuah gerakan yang
nyaris tanpa risiko.
Mahasiswa pun begitu
rupanya, ramai di dunia maya tentang pertentang juga celaan bahkan protes
terhadap suatu ketimpangan sosial, namun begitu sepi tindakan nyata dalam
proses mengubah hal tersebut. Kita tentu masih ingat tentang kasus Prita
Mulyasari, ketika ia mendapatkan sebuah diskriminasi hukum karena jelas yang
dilawan adalah sang raja besar dengan modal yang berlipat. Santer gerakan
mendukung kala itu, namun tumpas dalam beberapa pekan saja, seolah-olah lupa
akan adanya hal tersebut. Begitu pula dengan kasus nenek Minah yang mencuri 3
buah kakao, hanya beberapa hari saja ramai lalu tumpas tanpa ada gerakan nyata.
Semua pergerakan macam
begini kiranya menandakan bahwa dalam hal ekonomi negera kita masih berada di
ambang yang aman saat ini. Kelas menengah masih saja diam dan duduk nyaman
sambil menenteng gadget mereka. Kepedulian
nyata masih minim, maka bisa dipastikan kebobrokan pun tetap berjalan dengan
tenang. Kalaupun ada perubahan menuju yang lebih baik maka laiknya siput, ia
berjalan amat pelan. Akan tetapi bila ditilik dari konsep pendidikan maka hal
ini akan menjadi sebuah keprihatinan. Ketika keilmuan hanya digadaikan sebagai
salah satu komponen proses produksi dan juga tanggung jawab moral mereka yang
dilahirkan sedikit berlebih harta hilang entah kemana, hal ini dapat menjadi
bumerang tersendiri. Jika semua ketimpangan sosial ini terus berlarut bukan
tidak mungkin, peristiwa 1998, 1966, dan yang lainnya akan kembali terulang. Bisa
jadi pula, adakalanya nanti kelas bawahlah yang bergerak mencari keadilannya. Mengutip
seperti apa yang dikatakan Marx, sejarah
semua yang terjadi di masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas.
[1] Dalam Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999,
hal. 112.
[2] Ibid.
, hal. 112.
[3]
Lihat majalah Tempo Edisi 26 Februari 2012, Kelas Konsumen Baru
[4]
Muhammad Chatib Basri dalam opininya pada Tempo Edisi 26 Februari 2012,
mengatakan bahwa kelas menengah sangat “membingungkan” dari sisi akademik,
sehingga lebih sering digunakan istilah kelas konsumen baru.
[5]
Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca.
Jakarta Timur: Lentera DIpantara. Cetakan kesembilan, 2011. Dalam novel
tersebut, ketika politik etis mulai berlangsung dan organisasi tumbuh pesat di
Indonesia, Pram mengindikasikan adanya sebuah gerakan baru secara sadar dari
mereka yang tak termasuk darah biru untuk memperbaiki nasibnya dengan melalui
pendidikan. Hal tersebut menurutnya agar kelak hasil dari pendidikan tersebut
adalah memiliki sebuah keahlian yang diakui secara formal.
[6]
Ibid,. hal 418
[7]
Soe Hok GIe, salah satu aktivis
mahasiswa pada zaman itu menuliskannya dalam catatan hariannya yang kini
dibukukan. Proses demonstrasi yang menuntut tritura semakin diserang dengan
politik pelambungan harga sehingga makin banyak mahasiswa yang turun ke jalanan
menentang kebijakan tersebut. Akibatnya rezim orde lama jatuh dan PKI
dibubarkan. Lihat Soe Hok Gie, Catatan
Seorang Demonstran. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005. Cetakan kesembilan,
hal. , 123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar