Rabu, Mei 22, 2013

Pergerakan Dari Tengah ke Tengah



Hidup adalah tentang mengklasifikasikan sesuatu. Tak dapat dipungkiri, manusia sebagai pemeran utama dalam kehidupan, selalu mencoba untuk mengelompokkan segala hal dalam bentuk-bentuk yang lebih mudah dicerna. Mulai dari benda, status sosial, status ekonomi, bahkan sampai kualitas kehidupan itu sendiri, selalu dipilah-pilah menjadi beragam kelompok oleh manusia. Berbagai macam metode dan faktor diramu untuk mengelompokkannya. Apa yang menjadi pembanding? Pembatas? Tiap hal tentu memiliki hakikatnya sendiri. Ini pula yang terjadi dalam pembentukan strata kelas ekonomi dalam masyarakat.
Manusia mengelompokkan status ekonomi seseorang sebagai salah satu cara untuk menegaskan bagaimana pula status sosial yang didapatnya. Akan tetapi, tentu saja pembahasan ini hanya akan disudutkan pada status ekonomi saja, mengingat terbatasnya kemampuan serta waktu yang tersedia.


Kelas Menengah
Beberapa waktu yang lalu, ramai diberitakan di berbagai media massa, termasuk televisi dan media cetak, tentang pertumbuhan juga perilaku kelas menengah Indonesia. Tak kurang mulai dari Metro TVdan TV One sebagai rujukan berita nasional dalam televisi, menyoroti akan hal ini. Begitu pula dua media cetak terkenal, Kompas, koran dengan oplah terbesar di Indonesia, beserta Majalah Tempo, rebut mempersoalkan tentang perubahan sosial dari sudut pandang ekonomi dalam kelas ini.
Klasifikasi ekonomi masyarakat dari sektor ekonomi sendiri sebenarnya masih terjadi berbagai macam pertentangan. Faktor apa yang patut dijadikan patokan sebagai standar klasifikasi, ataupun perdebatan berapa patokan yang pas. Terlepas dari semua perdebatan tersebut, Karl Marx membagi masyarakat menjadi dua kelas secara eksplisit, kaum borjuis dan proletar. Borjuis adalah mereka para orang kaya yang menguasai sektor-sektor ekonomi terutama modal dan alat-alat prodeksi, serta proletar yaitu para buruh rendahan yang terus mengais rezeki dari para kuasa borjuis. Kedua kelas ini menurut Marx akan selalu terjadi pertentangan. Hal itu tertuang dalam kalimat pembukaan Manifesto Komunis yang termasyur itu:
 “sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah pertentangan kelas.”[1]


Namun, pengertian kelas dalam Marx sendiri masih belum jelas terukur, memang Lenin menuturkan bahwa kelas itu merupakan tatanan posisi masyarakat dalam proses produksi. Akan tetapi, bila dilihat secara tegas maka menjadi rancu karena anggapan bahwa mereka yang berada di pucuk atas proses produksi tidak selalu berada di atas pula dalam ukuran kesejahteraan maupun kebahagiaannya. Lalu bagaimana pula dengan para professional yang tentu berada di antara kaum buruh dan kelas atas di pucuk proses produksi?  
Franz Magnis-Suseno mencoba memaparkan pandangan Marx akan kelas tersebut, menurutnya kelas dalam pandangan Marx tersebut lebih mengacu pada pengelompokkan suatu tatanan masyarakat pascafeodal, sedangkan yang kuno lebih disebut ‘kasta'[2].
Selain dari Marx, stratifikasi sosial juga dicetuskan oleh Max Webber, akan tetapi tak hanya berdasarkan faktor proses produksi melainkan juga pada ekonomi dan prestise. Teori Webber ini terkenal disebut sebagai teori tindakan sosial. Teori Webber inilah yang menjelaskan lebih terperinci. Sebuah kedudukan seseorang tak melulu tinggi karena ia menjadi bos sebuah perusahaan dengan banyak karyawan, bila pendidikannya rendah, belum tentu ia akan menjadi kelas atas.
Selanjutnya memang banyak yang mulai mencoba mendefinisikan kelas strata masyarakat ini. Tak dapat dipungkiri pula bahwa keberadaan tiap strata menjadi salah satu komponen perhitungan dalam merumuskan konsep ekonomi yang dipakai Negara untuk menentukan kebijakan.
Bank Dunia, memiliki konsep tersendiri dalam menentukan kelas menengah tersebut. Kelas menengah versi Bank Dunia adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per harinya US$ 2-20. Di Indonesia sendiri menurut perkiraan organisasi tersebut terdapat sekitar 130juta orang yang termasuk dalam golongan kelas menengah atau sekitar 56,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia[3]. Kelas menengah ini terang saja tersebar di berbagai wilayah. Akan tetapi, jumlah terbesar berada di kota, dimana para profesional yang memiliki  keahlian tersendiri tinggal. Karena hal itulah, dalam hal ini kelas menengah lebih sering diartikan sebagai kelas konsumen baru[4], dimana transaksi yang ada sangatlah bergantung pada keadaan ekonomi Negara dan cenderung rapuh.
Kelas menengah di Indonesia tak serta merta ada begitu saja. Perkembangan kelas menengah ini dimulai dari zaman kolonial terutama ketika politik etis mulai diadakan oleh penjajah. Saat itu, para priyayi rendahan ataupun para tuan tanah serta pedagang yang memiliki harta sedikit berlebih dari yang lainnya mensekolahkan anak-anak mereka dengan harapan agar anaknya menjadi pegawai pemerintahan sehingga terdapat nilai prestise yang lebih tinggi. Seperti yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi pulau buru, Rumah Kaca, dijelaskan bahwa pergeseran tata-susun sosial di jawa tak serta merta terjadi begitu saja.
“kaum ningrat tinggi yang mendasarkan kedudukannya pada jabatan-jabatan tinggi negeri, mendapatkan kedudukannya hanya karena kebangsawanannya, kini mulai ditinggalkan mentah-mentah oleh angkatan muda dari golongan bangsawan rendahan, yang menghendaki jabatan apa saja dan dengan demikian kita mau belajar apa saja asal dapat jabatan negeri. Mereka memasuki sekolah-sekolah vak yang disiriki oleh angkatan muda ningrat tinggi.”[5]

Keadaan tersebut terus menerus terjadi hingga saat ini. Akan tetapi sedikit kembali menilik ke belakang, politik orde baru yang menerapkan sistem ekonomi lokomotif, yaitu sebuah sistem ekonomi yang mendorong para warga kelas atas untuk memperbesar usahanya agar semakin banyak menyerap tenaga kerja, mengakibatkan makin meningkatnya kelas menengah di Indonesia. Peningkatan tersebut terus menerus terjadi sampai pembengkakan jumlah kelas menengah pada saat ini.
Kelas menengah ini sendiri menurut beberapa tokoh sangatlah rapuh dalam hal finansial. Seperti yang diungkapkan Pram di atas, masyarakat kelas ini cenderung menunggu untuk menjadi pegawai. Alih-alih membuat lapangan pekerjaan baru, masyarakat kelas ini menggantungkan asanya pada pemerintah.
Ketergantungan ini terlihat pula dari pola konsumsinya. Masyarakat kelas menengah tentu sebagian besar memiliki kelebihan uang yang masih bebas. Akhirnya pun uang tersebut dialirkan sebagai salah satu konsep konsumsi yang baru. Akibatnya, perekonomian negara pun lebih besar pada sektor hiburan dan jasa. Namun, daya beli yang tinggi ini menurut Yuswohadi tak serta membuat mereka konsumtif dan boros. Hal ini dikarenakan perilaku pembelian seperti ini terjadi jika kebutuhan dasar mereka telah terpenuhi.

Pendidikan dan Idealisme
Pendidikan kelas ini pun cenderung berada di tengah-tengah jenjang yang tersedia. Perguruan tinggi mereka serbu. Kebanyakan dari masyarakat kelas ini akan mengambil perguruan Tinggi dalam negeri. Mengingat mahalnya biaya kuliah sekarang, tentu saja kelas ini pula yang mendominasi mahasiswa maupun mahasiswi pada setiap universitas-universitas. Namun, laiknya seperti yang dikemukakan oleh Pram, mahasiswa dari kelas ini cenderung cari aman untuk mempertahankan kenyamanan kelasnya. Mereka tak bergerak secara progresif dalam pergerakan mahasiswa.
Jika terdapat anggapan bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual yang independen, idealis, terbebas dari segala godaan untuk berjuang secara tulus, bisa jadi anggapan tersebut telah hilang entah kemana. Mahasiswa yang dulunya adalah kaum kritis penggerak perjuangan intelektual, kini sedikit beralih menjadi penggali materi. Jika diibaratkan Harimau, maka auman Harimau yang dulu keras terdengar sekarang seperti dikurung dalam sangkar oportunisme.
Memang, bila dilihat satu per satu tentu tiap mahasiswa akan berbeda, tetapi jika ditarik garis besar secara mayoritas maka akan kita temui bahwa mahasiswa yang masih beridealis tinggi dan terus bergerak secara tulus akan sangat sedikit rupanya.
Eksistensi kelas menengah yang mendominasi pendidikan ini rupa-rupanya juga berawal dari zaman kolonial. Saat itu, ketika penjajah mengumandangkan politik etis, para bangsawan rendahan berbondong-bondong masuk STOVIA, Sekolah Tinggi Hukum, Sekolah Tinggi Perdagangan, dsb. Mereka berharap agar nantinya dapat diangkat menjadi pegawai pemerintahan sehinga tentu saja lebih mengamankan posisi mereka dalam kenyamanan. Dari kejadian itu, beberapa pentolan mereka macam dr. Soetomo, Tjipto Mangunkusumo, mendirikan sekolah-sekolah baru untuk rakyat yang berada di luar kebangsawanan. Disana, mereka diajarkan untuk menulis, berhitung, berbahasa belanda pula. Harapannya orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut sama, yaitu agar sang anak mampu menjadi pegawai pemerintahan, bukan lagi sekadar petani ataupun tuan tanah juga saudagar biasa. Hanya beberapa pentolan mereka dari mereka saja yang secara sadar akhirnya memperjuangkan kemerdekaan dengan keras[6].
Ini terus berkembang sampai zaman setelah merdeka. Sekolah tinggi menjadi santapan wajib bagi kaum kelas ini. Mereka berharap agar universitas-universitas tersebut dapat mengantarkan mereka layaknya ekskalator menuju titik yang lebih tinggi dari sebelumnya. Keilmuan pun digenjot sesuai dengan sistem pasar. Apa yang lapangan pekerjaan butuhkan maka itu yang akan diajarkan di Universitas. Konsep ini dikuatkan pula oleh keadaan negara yang dibuat dengan konsep ekonomi lokomotif zaman orde baru. Mereka yang mempunyai uang berlebih tentu lebih mempunyai kuasa dari yang lebih sedikit. Akibatnya pemahaman pencarian materi ini memperlemah idealisme mereka ketika sudah lulus dan benar-benar terjun ke masyarakat. Lulusan universitas dari kelas ini ketika menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan tak lagi kebal terhadap kebusukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Materi menjadi tujuan utama. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena mereka berada pada posisi yang tanggung, kaya tidak namun miskin pun takut.
Kelompok mahasiswa kelas ini akan bergerak jika eksistensinya mulai terancam. Sejarah mencatat pada tahun 1966, ketika ribuan mahasiswa turun ke jalan menuntut pembubaran PKI, terjadi pula inflasi besar di negara ini mencapai 600 persen. Hal tersebut terang saja juga mencekik mereka yang tadinya santai saja, tenang, dan nyaman dalam menghadapi perkuliahan sehingga ikut turun ke jalan[7].
Sejarah tersebut berulang ketika tahun 1998. Ratusan ribu mahasiswa yang akhirnya berani turun untuk menentang rezim otoriter orde baru juga setelah terjadi krisis ekonomi dunia. Terjadi inflasi besar saat itu pula nilai rupiah yang jatuh di pasaran.
Akan tetapi bagaimana pula dengan pergerakan mahasiswa selain kedua momen di atas. Rupa-rupanya mahasiswa terus saja bergerak akan tetapi dengan jumlah massa yang jauh lebih sedikit. Kita tentu mengingat bagaimana mahasiswa yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik memperjuangkan hak masyarakat yang tanahnya tergusur oleh proyek waduk kedung ombo. Akan tetapi jumlah mereka sangatlah sedikit. Layaknya zaman kolonial, mereka yang bergerak hanyalah para pentolan-pentolan mahasiswa. Mayoritas mahasiswa lainnya tetap tenang dan giat belajar di kampus-kampus mereka. Barangkali hanya peristiwa lima belas Januari (MALARI) yang mampu menggerakkan masa dalam jumlah besar. Namun bila dikaji lebih mendalam, peristiwa pembakaran perusahaan-perusahaan dari Jepang tersebut juga dikarenakan eksistensi mahasiswa kelas ini yang juga mulai terancam. Sektor swasta asing yang baru muncul saat itu dengan cepat berkembang dan menggurita. Kontan saja kelas ini merasa tersaingi sehingga mereka ikut bergerak dan secara sadar berjuang.
Berbeda pula dengan zaman reformasi saat ini. Mahasiswa kelas ini tetap merajai porsi-porsi kuliah di berbagai kampus. Lebih-labih lagi dengan biaya kuliah yang bisa dibilang cukup mahal. Akibatnya seperti saat ini, pergerakan maupun kekritisan mahasiswa menjadi layu. Berbagai macam organisasi kemahasiswaan pasca orde baru tumbang mengalami sebuah disorientasi gerakan juga degradasi idealisme. Organisasi-organisasi ini seperti hanya mempertahankan eksistensinya sehingga cenderung sporadis dan kurang mengakar. Pergerakan pun menjadi sepi. Kebanyakan akhirnya fokus pada studinya masing-masing, cenderung apatis terhadap lingkungan sosial di sekitar yang kiranya masih banyak sekali ketimpangan.
Merlyna Lim, seorang peneliti yang juga profesor dari Universitas Arizona menyebutkan bahwa kelas ini di zaman sekarang lebih menggunakan media sosial melulu untuk mengeluhkan, mengkritik, mencela kebobrokan yang ada. Mereka cenderung lebih suka menulis status di facebook ataupu twitter dibandingkan bersatu untuk sebuah upaya perubahan sosial. Merlyna sendiri menyebutnya sebagai click activism, sebuah gerakan yang nyaris tanpa risiko.
Mahasiswa pun begitu rupanya, ramai di dunia maya tentang pertentang juga celaan bahkan protes terhadap suatu ketimpangan sosial, namun begitu sepi tindakan nyata dalam proses mengubah hal tersebut. Kita tentu masih ingat tentang kasus Prita Mulyasari, ketika ia mendapatkan sebuah diskriminasi hukum karena jelas yang dilawan adalah sang raja besar dengan modal yang berlipat. Santer gerakan mendukung kala itu, namun tumpas dalam beberapa pekan saja, seolah-olah lupa akan adanya hal tersebut. Begitu pula dengan kasus nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao, hanya beberapa hari saja ramai lalu tumpas tanpa ada gerakan nyata.
Semua pergerakan macam begini kiranya menandakan bahwa dalam hal ekonomi negera kita masih berada di ambang yang aman saat ini. Kelas menengah masih saja diam dan duduk nyaman sambil menenteng gadget­ mereka. Kepedulian nyata masih minim, maka bisa dipastikan kebobrokan pun tetap berjalan dengan tenang. Kalaupun ada perubahan menuju yang lebih baik maka laiknya siput, ia berjalan amat pelan. Akan tetapi bila ditilik dari konsep pendidikan maka hal ini akan menjadi sebuah keprihatinan. Ketika keilmuan hanya digadaikan sebagai salah satu komponen proses produksi dan juga tanggung jawab moral mereka yang dilahirkan sedikit berlebih harta hilang entah kemana, hal ini dapat menjadi bumerang tersendiri. Jika semua ketimpangan sosial ini terus berlarut bukan tidak mungkin, peristiwa 1998, 1966, dan yang lainnya akan kembali terulang. Bisa jadi pula, adakalanya nanti kelas bawahlah yang bergerak mencari keadilannya. Mengutip seperti apa yang dikatakan Marx, sejarah semua yang terjadi di masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas.




[1] Dalam Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal. 112.
[2] Ibid. , hal. 112.
[3] Lihat majalah Tempo Edisi 26 Februari 2012, Kelas Konsumen Baru
[4] Muhammad Chatib Basri dalam opininya pada Tempo Edisi 26 Februari 2012, mengatakan bahwa kelas menengah sangat “membingungkan” dari sisi akademik, sehingga lebih sering digunakan istilah kelas konsumen baru.
[5] Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca. Jakarta Timur: Lentera DIpantara. Cetakan kesembilan, 2011. Dalam novel tersebut, ketika politik etis mulai berlangsung dan organisasi tumbuh pesat di Indonesia, Pram mengindikasikan adanya sebuah gerakan baru secara sadar dari mereka yang tak termasuk darah biru untuk memperbaiki nasibnya dengan melalui pendidikan. Hal tersebut menurutnya agar kelak hasil dari pendidikan tersebut adalah memiliki sebuah keahlian yang diakui secara formal.
[6] Ibid,. hal 418
[7]  Soe Hok GIe, salah satu aktivis mahasiswa pada zaman itu menuliskannya dalam catatan hariannya yang kini dibukukan. Proses demonstrasi yang menuntut tritura semakin diserang dengan politik pelambungan harga sehingga makin banyak mahasiswa yang turun ke jalanan menentang kebijakan tersebut. Akibatnya rezim orde lama jatuh dan PKI dibubarkan. Lihat Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005. Cetakan kesembilan, hal. , 123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar