Sabtu, November 19, 2011

Nyali

di sini aku dengar
derau angin yang mendesing keras
dan aliran sungai yang runtuhkan nyalimu

di sini aku lihat
awan mendung yang bergerak tinggalkan kita
juga tatapmu yang selalu diam membeku

di sini aku mengerti
hakikat waktu yang diterobos mimpi
beserta nasib yang bukan sekadar buih ombak

di sini aku ingin mendengar
senandung senja yang kau bisikkan pada langit
hingga buat segala semangat kembali bergetar

tak ada pertentangan
tak ada makian
hanya perbedaan yang hantarkan kita menuju impian

Senin, November 14, 2011

Pagi, Alam, dan Ruh #2

Andaikan. Sebuah kata yang sering kita dengar bahkan ucapkan. Manusia memang selalu mempunyai keinginan.  Tapi tentunya tak semua manusia. Bagi beberapa orang tentu saja percaya akan adanya takdir. Sesuatu kondisi dimana kita tak bisa berperan sendirian saja untuk menentukan sesuatu tersebut. Seperti biasanya, ketika sesuatu tersebut terjadi atau diputuskan bahkan memutuskan, kita sering berandai-andai, atau paling tidak berseloroh “seharusnya......”.
Masalah, ya sekali  lagi masalah. Hidup ini selalu terisi dengan masalah. Hanya mereka yang tak hidup yang tak mempunyai masalah. Ketika takdir tadi telah terukir, maka masalah muncul. Entah dalam fase awal, proses, bahkan keputusan final dari takdir tersebut. Masalah adalah hal yang terkadang tak kita ketahui, seringkali pula merupakan sesuatu yang tak kita inginkan. Sebuah pertanyaan besar pun menyeruak. Jika masalah itu adalah segala hal yang tak kita inginkan, lalu mengapa kita hidup? Apakah dahulu kita benar-benar menginginkan hidup?
Hidup sendiri bukan hanya tentang jiwa dan raga. Tapi lebih dari itu, kita mengenal dengan adanya roh juga sukma dalam jawa. Kemana mereka? Hanya sedikit manusia saja yang bisa merasakan juga berinteraksi dengan sukmanya sendiri. Kebanyakan dari kita hanya memikirkan bagaimana raga. Jiwa hanya identik dengan pemikiran-pemikiran serta keahlian yang jelas tak kasat mata. Mungkin memang hal tersebut dapat diimplementasikan, namun melihatnya secara nyata dan langsung, tentu tak mungkin. Apalagi bila terkungkung dalam metodologi ilmiah..
Berbicara soal roh juga sukma, saya teringat pembicaraan dua orang yang entah siapa saya curi dengar. Siang itu di sebuah tempat makan yang begitu ramai, saya terpaksa meminta tempat duduk si samping dua orang yang sedang berbicara seru. Entah apa yang dibicarakan pada awalnya, saya tak peduli. Ketika pesanan datang, saya mulai bosan. Jujur saya  tak membawa buku yang biasanya menjadi teman ketika sendirian seperti ini. Mereka berbincang tanpa memperdulikan saya.
“kamu kenapa pake minum segala coba? Kadang-kadang atau sering?” tanya pria yang kurus dan berambut pendek yang entah siapa namanya. Temannya yang berambut panjang keriting mirip Slash menjawab, “lha piye, pusing, banyak masalah. Jadi ya enaknya minum, buat sekedar melupakan sejenak”.
“hmmmm sekarang coba pikir, setelah minum masalah kamu hilang gak?” sahut si rambut pendek lagi. “ya kagak,” jawab si rambut panjang. “nah, kenapa minum? Yang kamu kasih solusi tu cuma jiwa ma raga kamu, kalau roh kamu gimana? Masih lapar kan? Masih bingung kan?” “ya iyalah, eh tapi maksudnya?” “ya itu tadi, kamu ngrokok, minum, ya seneng, tapi cuma jiwa ma raga kamu. Makanya senengnya cuma sebentar. Sekarang kamu coba inget, kalau sholat, berapa lama kamu senengnya? Atau plong-nya minimal,  lama to. Itu karena roh kamu yang kamu kasih makan.” Jleb...serasa tertusuk hati saya.
Jujur selama ini saya juga termasuk orang yang masih belum bisa mengerti bahasa hati bahkan bagaimana keinginan si roh atau sukma dalam tubuh ini. Setidaknya percakapan tadi makin memahamkan saya bahwa terkadang logika ada batasnya. Terlalu banyak pula kita bertumpu pada logika, terkadang pula kita terlalu bertumpu pada takdir, dan sesekali kita bertumpu pada keberuntungan. Seakan-akan kita lupa tentang prinsip keseimbangan. Mereka yang merasa paling benar dan merasa suci (menganggap yang lain salah) kadang lupa bahwa keseimbangan itu ada. Sebuah pertanyaan liar kembali menyeruak. Jika kita tak mengenal roh kita sendiri, lalu bagaimana perhitungan nanti? Siapa yang mempertanggungjawabkan?
Saya seringkali merenung sendiri atau mengurung diri dalam kamar hanya untuk sekedar diam dan mencoba mengerti pertanyaan-pertanyaan yang sering liar muncul ini. Saya sendiri tak tahu bagaimana awal dan akhirnya. Namun setidaknya saya yakin bahwa Dia itu sempurna dan semua tentu saja bisa dipertanyakan pada-Nya.

Bersambung........

Kamis, November 03, 2011

pagi......


PAGI, ALAM, DAN RUH

Pagi ini seperti biasa, mata terbuka ketika mentari baru saja hampir naik. Setidaknya pagi masih berlangsung dimana kicauan burung masih ribut menyambutnya. Pagi selalu menjadi hal tersendiri. Tenaga masih terkumpul untuk satu hari penuh setelah kita berbaring sejenak dan melupakan segala yang terjadi sebelumnya dalam mimpi penuh misteri yang tak pernah kita bisa mengendalikannya.
Berbicara soal mimpi maka selalu akan timbul tanda tanya besar. Kita yang terbiasa dikendalikan oleh otak secara inderawi menjadi lemah dan tak mampu berbuat apa-apa soal mimpi. Bahkan ada rasa, secara penglihatan kita tertipu. Semua yang tergambar dalam mimpi seakan-akan benar-benar terjadi di hadapan kita secara nyata. Mata jelas tertipu. Ketika tidur mata kita tertutup, tetapi perasaan kita saat kita bermimpi mengirimkan stimulus bahwa hal itu sperti benar terjadi adanya. Mungkin inilah yang dipikirkan einstein ketika berujar bahwa imajinasi lebih penting daripada ilmu pasti.
Biologi menjelaskan secara nyata bagaimana syaraf penglihatan kita bekerja saat menerima rangsang cahaya dari benda-benda. Sebuah kenyataan besar mengalahkan hal tersebut. Seperti yang saya ungkapkan di atas, mata kita tertipu dengan kata lain syaraf-syaraf tersebut tak mampu lagi dijelaskan secara ilmu pasti.
Pertanyaan besar pun masih mengemuka pagi ini. Terbangun ketika mentari sudah mulai merangkak pelan menuju cakrawala dengan segala keteraturan alam semesta yang begitu sempurna. Masih saja saya tak mengerti. Mana mungkin rasio akal pikiran kecerdasan manusia mampu menjelaskan semua tersebut secara patokan manusia yang disebut ilmiah? Itu terbukti sampai kini. Tak ada manusia di belahan alam semesta manapun yang mampu menjelaskan hal tersebut.
Manusia memang mahluk yang congkak. Rasio sendiri yang mengatakan hal demikian. Manusia membabat alam sampai hampir habis lalu kebingungan sendiri ketika alam mulai menjadi tak seimbang. Parahnya, manusia tak pernah mau disalahkan seorang diri. Saya masih bertanya, mengapa manusia menyalahkan binatang sebagai sumber-sumber penyakit tertentu. Flu salah satunya. Saya sempat terpikir sebah pertanyaan. Apakah sejak dulu memang sudah ada flu pada binatang? Atau manusia yang mengganggu keseimbangan alam sehingga muncul virus flu? Atau malah manusia sendiri yang menciptakan virus flu?
Pertanyaan-pertanyaan itu belum mampu saya jawab, mungkin saja si google bisa sehingga saya juga bisa nantinya.
Bersambung....................