Andaikan.
Sebuah kata yang sering kita dengar bahkan ucapkan. Manusia memang selalu
mempunyai keinginan. Tapi tentunya tak
semua manusia. Bagi beberapa orang tentu saja percaya akan adanya takdir.
Sesuatu kondisi dimana kita tak bisa berperan sendirian saja untuk menentukan
sesuatu tersebut. Seperti biasanya, ketika sesuatu tersebut terjadi atau
diputuskan bahkan memutuskan, kita sering berandai-andai, atau paling tidak
berseloroh “seharusnya......”.
Masalah, ya
sekali lagi masalah. Hidup ini selalu
terisi dengan masalah. Hanya mereka yang tak hidup yang tak mempunyai masalah.
Ketika takdir tadi telah terukir, maka masalah muncul. Entah dalam fase awal,
proses, bahkan keputusan final dari takdir tersebut. Masalah adalah hal yang
terkadang tak kita ketahui, seringkali pula merupakan sesuatu yang tak kita
inginkan. Sebuah pertanyaan besar pun menyeruak. Jika masalah itu adalah segala
hal yang tak kita inginkan, lalu mengapa kita hidup? Apakah dahulu kita
benar-benar menginginkan hidup?
Hidup sendiri
bukan hanya tentang jiwa dan raga. Tapi lebih dari itu, kita mengenal dengan
adanya roh juga sukma dalam jawa. Kemana mereka? Hanya sedikit manusia saja
yang bisa merasakan juga berinteraksi dengan sukmanya sendiri. Kebanyakan dari
kita hanya memikirkan bagaimana raga. Jiwa hanya identik dengan
pemikiran-pemikiran serta keahlian yang jelas tak kasat mata. Mungkin memang
hal tersebut dapat diimplementasikan, namun melihatnya secara nyata dan
langsung, tentu tak mungkin. Apalagi bila terkungkung dalam metodologi ilmiah..
Berbicara
soal roh juga sukma, saya teringat pembicaraan dua orang yang entah siapa saya
curi dengar. Siang itu di sebuah tempat makan yang begitu ramai, saya terpaksa
meminta tempat duduk si samping dua orang yang sedang berbicara seru. Entah apa
yang dibicarakan pada awalnya, saya tak peduli. Ketika pesanan datang, saya mulai
bosan. Jujur saya tak membawa buku yang
biasanya menjadi teman ketika sendirian seperti ini. Mereka berbincang tanpa
memperdulikan saya.
“kamu kenapa
pake minum segala coba? Kadang-kadang atau sering?” tanya pria yang kurus dan
berambut pendek yang entah siapa namanya. Temannya yang berambut panjang
keriting mirip Slash menjawab, “lha piye, pusing, banyak masalah. Jadi ya
enaknya minum, buat sekedar melupakan sejenak”.
“hmmmm
sekarang coba pikir, setelah minum masalah kamu hilang gak?” sahut si rambut pendek
lagi. “ya kagak,” jawab si rambut panjang. “nah, kenapa minum? Yang kamu kasih
solusi tu cuma jiwa ma raga kamu, kalau roh kamu gimana? Masih lapar kan? Masih
bingung kan?” “ya iyalah, eh tapi maksudnya?” “ya itu tadi, kamu ngrokok,
minum, ya seneng, tapi cuma jiwa ma raga kamu. Makanya senengnya cuma sebentar.
Sekarang kamu coba inget, kalau sholat, berapa lama kamu senengnya? Atau plong-nya minimal, lama to. Itu karena roh kamu yang kamu kasih
makan.” Jleb...serasa tertusuk hati saya.
Jujur selama ini
saya juga termasuk orang yang masih belum bisa mengerti bahasa hati bahkan
bagaimana keinginan si roh atau sukma dalam tubuh ini. Setidaknya percakapan
tadi makin memahamkan saya bahwa terkadang logika ada batasnya. Terlalu banyak
pula kita bertumpu pada logika, terkadang pula kita terlalu bertumpu pada
takdir, dan sesekali kita bertumpu pada keberuntungan. Seakan-akan kita lupa
tentang prinsip keseimbangan. Mereka yang merasa paling benar dan merasa suci
(menganggap yang lain salah) kadang lupa bahwa keseimbangan itu ada. Sebuah
pertanyaan liar kembali menyeruak. Jika kita tak mengenal roh kita sendiri,
lalu bagaimana perhitungan nanti? Siapa yang mempertanggungjawabkan?
Saya
seringkali merenung sendiri atau mengurung diri dalam kamar hanya untuk sekedar
diam dan mencoba mengerti pertanyaan-pertanyaan yang sering liar muncul ini.
Saya sendiri tak tahu bagaimana awal dan akhirnya. Namun setidaknya saya yakin
bahwa Dia itu sempurna dan semua tentu saja bisa dipertanyakan pada-Nya.
Bersambung........