Jumat, September 30, 2011

buangan


Siang tadi terasa lebih lambat dari biasanya. Terik matahari yang menyengat, sedikit merayapnya kendaraan yang biasanya lancar, semakin membuat lambat rasanya dan memang makin lambat ternyata. Bau keringat bercampur dengan asap knalpot yang makin menyesakkan suasana. Ya, bis jogja solo yang saya tumpangi ini merayap memakan meter demi meter jalanan. Suara bising deru mesin yang jelas terdengar ditelinga pun menjadi nada-nada tersendiri. Lambat, merayap, panas, milik rakyat.
Pikiran mulai terbang, seandainya naik motor sendiri atau mobil sendiri mungkin lebih nikmat. Tak perlu merayap. Tak ada bau keringat apalagi ketiak orang tak dikenal. Lebih irit di kantong pribadi, selain itu juga lebih bisa mengestimasi keberangkatan dan juga kedatangan.
Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah ramah lingkungan, global warming, sampai dengan go green. Semua hal tersebut pada intinya adalah tentang usaha bagaimana membuat bumi sedikit lebih ramah atau dalam bahasa saya sebagai cara untuk memperlambat kehancuran bumi. Usaha tersebut memakai banyak cara, salah satunya adalah penggunaan transportasi masal, yang berarti meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi, dalam hal ini yang berupa kendaraan bermotor tentunya.
Banyak yang menentang penggunaan kendaraan pribadi yang semakin meningkat. Siapa yang disalahkan atas hancurnya ozon? Polusi udara jawabnya dan dilimpahkan pada asap-asap knalpot juga pabrik yang semakin tebal. Siapa dalangnya? Beragam pula jawabnya, tetapi sebagian besar mengatakan bahwa negara dengan banyak mobil lama yang emisinya besar menjadi biang keroknya. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab? Lebih berwarna lagi jawabnya. Ada yang menyalahkan negara maju yang tentu saja lebih banyak industrinya. Namun, ada pula yang menyalahkan negara berkembang dimana memang belum sebaik negara maju pengolahan limbahnya.
Semua itu seakan jadi kata-kata semu. Perdebatan yang saya yakin tak akan ada habisnya. Semua tentu saja akan saling membela diri mereka masing-masing. Namun sedikit dari siang tadi. Saya dengan sok aksi mencoba sok peduli lingkungan. Saya pergi ke solo tanpa memakai motor butut saya sendiri. jam 11.00 WIB tepat saya mulai langkah kaki menuju halte trans jogja terdekat. Belum sampai halte, kaos yang saya pakai sudah basah kuyup oleh keringat. Belum ada wewangian yang muncul untungnya. Sampai di halte bis yang kutunggu tak kunjung datang. Detik jam pun mulai bertalu-talu. 1 jam kemudian baru si ijo itu tiba. Di dalam bis agak lumayan, sayangnya sampai di gedong kuning si ijo ini berhenti lama. Si sopir dan kernet ganti shift ternyata, tapi sayangnya tak ada penjelasan pada kami para penumpang, mengapa ini berhenti lama? Si komo lewatkah? Atau mengapa? Sekitar 20 menit berhenti dengan hati penuh tanya maka akhirnya si sopr pengganti dengan gagah perkasa masuk ke dalam bis. Bis pun melaju kembali tanpa ada permintaan maaf.
Akhirnya sampai juga di janti, saya mencoba bersabar. Solo yang menjadi tujuan masih jauh di depan sana. lanjutnya harus menaiki bis jogja-solo yang jelas lebih mengkhawatirkan daripada bis ijo tadi. Bayangkan jogja solo ini saya tempuh dengan waktu 4 jam. Itu sudah dengan perhitungan naik si ijo tadi. Rasanya seperti membuang waktu yang jelas-jelas tak mungkin bisa kembali lagi.
Saya kemudian berpikir, di era mobilisaasi yang tinggi seperti ini, dimana waktu benar-benar berharga dan dengan cepatnya berubah, kita diminta kembali untuk melambat. Jauh melambat ke masa-masa sebelumnya. Betapa tidak menyenangkannya kita? Sebuah kewajaran saya rasa ketika banyak manusia di negara kita yang tetap memilih kendaraan pribadi tanpa perduli macet apalagi polusi yang dikeluarkan. Bagaimana tidak? Jika transportasi umum tetap seperti ini terus maka siapa yang mau? Tapi bukan berarti saya pesimis. Saya pikir jika nanti, sekali lagi jika nanti transportasi ini benar-benar diperhatikan maka akan berbeda segalanya. Ramah lingkungan pun  bukan hanya jadi slogan dan semua tidak hanya saling menyalahkan. Saya pikir mereka yang membuat kampanye ramah lingkungan tadi juga mungkin akan tetap memilih kendaraan pribadi mereka masing-masing bila keadaan transportasi umum tetap seperti ini. Sikap kita sendiri bagaimana? Ya kita tahu jawabnya. Setidaknya jalan kaki ataupun membuang waktu berpanasan juga berarti mengurangi polusi udara.