Waktu selalu jadi musuh. Ia tak mengenal toleransi. Tanpa pandang bulu ia terkam detik demi detik. Tak peduli kau, aku, dia, bahkan mereka mulai mengejang, mengaduh, merintih tak kuasa kendalikanmu. Entah mengapa ia sendiri tak berpatokan. Tiap penanda detik teknologi modern hanyalah sebagai penunjuk adanya dirimu. Tak lebih seperti obat penenang di otak-otak tiap kepala yang tak pernah berhenti mengingat.
Kemarin lusa masih kurasa kau berjaan begitu cepat bersamaku. Seakan kau menggenggam erat kedua tanganku dan melompat naik di bahuku. Jarak kita menjadi begitu dekat dan saat itu pula kau menjadi musuhku karena kau berjalan begitu cepat.
Adakah yang mampu mengendalikanmu? Agar kau mampu bersahabat denganku juga manusia-manusia yang sekadar ingin hidupnya lebih berputar tak tentu. Agar kau tak melesat terlalu jauh menipu tiap mata yang melihat dan merasa adanya dirimu.
Kau tak mengerti rupanya. Perjumpaanku dengannya kemarin adalah nafas bekal semangatku untuk mengahadapimu. Tiap tatapan matanya ialah api harapanku untuk menghantuimu. Tapi kau tetap acuh, lalu berjalan semakin cepat dan pergi tinggalkan kami berdua dalam keheningan benda berasap yang antarkan kami berpisah. Kau pun tertawa lalu kembali melambat. Bermain dengan arus jalan yang tak kukenal. Kau seakan senang melihatku menanti saat dimana kau berbaik hati dan mau berdamai denganku untuk berbicara tentang hal yang masih tak kumengerti. Kau seakan bahagia melihatku kebingungan mencari celah sampai kau datang padaku untuk mengantarku kembali padanya.
Waktu adalah musuh. Ia tak mengenal toleransi juga belas kasih. Sampai ia berdamai denganku dan menuntunku pada garis baru antara aku dengannya.