Selasa, Juli 19, 2011

Asumsi dari Asumsi

 
Akeh wong ngedol ngelmu
Akeh wong ngaku-aku
Njabane putih njerone dhadhu
Ngakune suci, nanging sucine palsu
Petikan di atas adalah bagian dari ramalan Jayabaya. Sebuah warisan sejarah dari masa lampau yang entah mengapa hampir semua terbukti saat ini.
Ramalan sendiri tak lain adalah perkiraan atau bisa juga disebut asumsi. Manusia selalu berasumsi akan sesuatu. Mula-mula melihat lalu berasumsi dengan otak mereka masing-masing. Bahkan terkadang manusia melibatkan emosi dalam asumsinya.
Ilmu sendiri berawal dari asumsi-asumsi. Archimedes berasumsi tentang berat jenis air lalu ia membuktiknnya. Galileo berasumsi terlebih dahulu tentang teori haleosentris dan ia pun membuktikannya. Einstein pun berasumsi terlebih dahulu bahwa lintasan planet-planet berbentuk elips bukan bulat sempurna.
Tiap orang mempunyai asumsi yang benar atau bisa dibilang meyakini asumsinya masing-masing. Asumsi yang terkadang membuat kita lupa bahwa asumsi hanya sekadar perkiraan dan bisa jadi salah. Seorang yang terpelajar biasa berasumsi bahwa mereka harus membenahi hidup orang yang kurang terpelajar. Hal ini dikarenakan si kurang terpelajar hidupnya harus banting tulang namun tak kunjung juga mampu hidup dengan layak misalnya. Ini seperti sebuah perasaan tanggung jawab terhadap yang lain. Namun, seorang manusia terkadang lupa bahwa jalan cerita keinginan hidup tiap orang itu berbeda. Pernahkan kita menanyakan apakah mereka yang kita katakan kurang layak hidupnya itu membutuhkan bantuan kita?
Lain halnya dengan bangku kuliah. Sebuah asumsi menjadi suatu hal yang penting dalam menganalisa suatu kasus. Tanpa asumsi maka tentu saja tak akan ada hipotesa dengan begitu gugurlah keingintahuan. Seperti contoh yang nyata, pemerintah berasumsi bahwa Mbah Maridjan ketika Merapi sedang erupsi harus mengungsi demi keselamatan jiwa. Namun apakah beliau setuju dengan asumsi tersebut? Kadang kita lupa bahwa kebanyakan dari masyarakat jawa punya suatu pegangan yaitu nrimo ing pandum, urip mati iku kuasane Gusti. Ini merupakan sikap pasrah terhadap sang pencipta. Memang pada akhirnya Mbah Maridjan tewas terkena lahar panas. Tetapi setidaknya beliau tetap percaya pada asumsinya sendiri dan tidak takut menghadapi kematian seperti yang lain. Karena mati adalah sesuatu yang tetap sejak kita belum dilahirkan.
Mungkin ini lebih seperti pendekatan a-priori, pendekatan yang mendahului pengalaman inderawi. Seperti ramalan Jayabaya di atasyang juga a-priori. Kita sebagai orang yang terpelajar sering kali memandang hal-hal macam itu dengan penolakan. Namun pernahkah kita memandang hal itu melalui sudut pandang yang lain? Bila diartikan maka ramalan hampir sama dengan sebuah hal yang diperhitungkan atau prediksi. Itulah asumsi. Hal tersebut bila kita sedikit dicerna bisa juga dipahami sebagai peringatan kepada generasi penerus. Sayangnya itu tak tersampaikan dan prediksi yang ditulis Jayabaya benar-benar terjadi saat ini.
Kita kembali lagi terhadap asumsi. Setiap manusia selalu berasumsi. Ketika membuat taman maka kita berasumsi bahwa taman yang bagus adalah taman yang indah di waktu malam. Di lain waktu kita berasumsi bahwa yang dibutuhkan mahasiswa adalah gedung baru tempat kegiatan mereka berlangsung. Mahasiswa sendiri berasumsi tentang mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang cepat lulus dan mendapat nilai baik. Si perguruan tinggi  berasumsi untuk menjaga nama yang katanya besar maka harus juga ikut arus zaman menjadi kampus yang katanya educopolis. Asumsi terus saja berjalan dan seperti biasa, pemilik asumsi akan lupa menanyakan apakah itu yang diinginkan si obyek asumsi. Seperti asumsi dalam tulisan ini, yang tak pernah mempertanyakan asumsi dari pembaca yang juga selalu berasumsi.